Perayaan Idul Fitri adalah perayaan silaturahmi. Perayaan bulan Syawal yang paling ideal adalah saling memberi maaf dengan cara bertatap muka dan berjabat tangan. Karenanya, di hari-hari pertama bulan Syawal, demi menjangkau pertemuan fisik ini, jalanan umumnya dipenuhi lalu lalang orang, baik yang berjalan kaki maupun yang menaiki kendaraan bermotor. Di Sampang, tepatnya di desa Dharma Tanjung, Kecamatan Camplong, orang-orang beramai-ramai bersilaturahmi dengan menaiki delman. Warga setempat menyebutnya tradisi pir-piran.
Sebenarnya memang tak melulu delman, ada pula yang menaiki becak, namun jumlah delman masih mendominasi. Tradisi pir-piran ini merupakan kebiasaan unik warga perbatasan Sampang-Pamekasan. Sebab pir-piran memang merupakan tradisi silaturahmi antar warga dua desa, yakni warga desa Dharma Tanjung, atau kerap pula disebut desa Tanjung saja, yang terletak di Sampang dan warga desa Bandaran, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan.
Saat ini, pir-piran sebagai wujud silaturahmi antar kerabat dilakukan setidaknya tiga kali dalam satu tahun. Yakni hari kedua bulan Idul Fitri, hari kedelapan Syawal, atau setelah perayaan tellasan topa’, dan sehari setelah perayaan Idul Adha.
Selain letak geografis yang saling bersebelahan, konon, dua desa ini juga berkerabat dekat. Pernikahan antar tetangga di dua desa ini sering terjadi. Umumnya setelah menikah pun pasangan memilih untuk tidak bermukim di luar Dharma Tanjung maupun Bandaran. Tak heran, pada momen-momen perayaan silaturahmi, kebutuhan melakukan perjalanan antar dua desa ini juga meningkat. Saat ini, perjalanan tersebut dilakukan dengan menaiki delman atau becak.
Entah kapan bermula, namun tradisi pir-piran ini sudah berlangsung selama puluhan tahun. Menurut penuturan warga, kata ‘pir’ dalam istilah pir-piran ini bukan merujuk pada ‘per’ atau ‘pegas’. Pir merupakan sebutan untuk moda transportasi tradisional yang menyerupai delman. Pir-piran berarti melakukan perjalan antar dua desa ini dengan menaiki pir.
Baik pir maupun delman, keduanya sama-sama alat transportasi beroda dua yang ditarik oleh seekor kuda. Namun, pir memiliki roda berukuran lebih besar daripada ukuran roda delman pada umumnya saat ini. Ini membuat bendi yang ditarik oleh kuda memiliki posisi lebih tinggi. Konon, karena letaknya yang lebih tinggi ini pula, pir juga sekaligus bisa digunakan si penumpangnya untuk menunjukkan pembawaan diri. Kekerabatan dua desa ini juga tak kalah tua dengan usia tradisi pir-piran ini. Karenanya, tak heran jika pir sudah sejak lama merupakan kendaraan pilihan ketika bersilaturahmi.
Meski lambat laun, entah sejak kapan pula mulanya, pir berangsur ditinggalkan. Moda transportasi yang digunakan kemudian berganti dengan delman sebagaimana bentuk yang kita kenal saat ini. Uniknya, pada tradisi pir-piran ini, delman dan becak yang ditumpangi oleh warga sudah dihias dengan berbagai macam hiasan, dari kertas warna-warni hingga lonceng. Tak hanya kendaraannya saja, penumpangnya pun turut berhias. Kaum hawanya umumnya menggunakan busana terbaik mereka, merias wajah dan mengenakan asesoris seperti kalung atau gelang.
Makin menambah semarak, warga yang rumahnya dilalui pawai delman dan becak ini biasanya juga memasang sound system atau pengeras suara di tepi-tepi jalan. Dulu memang sound system ini sempat ditaruh di atas delman bersama-sama dengan penumpangnya. Namun, mungkin warga merasa cara ini kurang aman dan tidak efektif. Kini, pengeras suara yang melontarkan musik kencang-kencang diletakkan di tepi-tepi jalan, yang umumnya mengundang kaum adam untuk ikut menari.
Ini pula kiranya yang membuat tradisi pir-piran menjadi menarik. Perayaan ikatan kekerabatan benar-benar dilakukan dengan semarak. Memang beberapa warga mengkhawatirkan esensi saling bersilaturahmi akan memudar ditelan hiasan kertas warna-warni dan riasan wajah. Tapi tidak bisa dipungkiri, bermula dari semangat silaturahmi, kemeriahan tradisi pir-piran ini pula yang membuatnya bisa menjadi hajatan bersama, menjadi hiburan warga. Pir-piran tak pernah gagal mengundang perhatian warga untuk berkumpul di jalan yang sama.
Baik pada perayaan Idul Fitri, tellasan topa’ maupun Idul Adha, pawai pir-piran ini berlangsung dari pukul tiga sore hingga menjelang adzan Maghrib. Beberapa menit sebelum adzan dikumandangkan, mobil patroli polisi biasanya akan berkeliling sambil menyerukan dengan pengeras suara bahwa pir-piran hendaknya segera disudahi. Parade delman dan becak hias ini berarak di jalan utama penghubung desa Tanjung dan desa Bandaran, yang juga merupakan jalan nasional, jalan utama jalur selatan pulau Madura untuk menuju Surabaya.
Karenanya, bagi yang sudah mahfum, untuk menghindari kemacetan pada saat perayaan tradisi pir-piran, pengguna jalan yang hendak melintasi jalur ini umumnya mencari jalur alternatif lain. Atau minimal memilih untuk melewati jalan nasional ini di luar jam-jam arak-arakan delman.