Lihat ke Halaman Asli

Sahabat & Flu Burung

Diperbarui: 23 Oktober 2015   08:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Lihat itu Jo..!!” Teriak seorang anak menunjuk pohon Pala[1] tua. Tingginya sekitar 2,5 meter. Sedang berbunga.

“Ada apa..!? oh..tapi aku tak pandai memanjat Mik..” Tanggap Jo menghampiri, setelah sebelumnya mencari gundu di rerumputan yang jatuh dari tangannya.

Senyap masih mengulum pagi. Mereka berdua memecahnya. Sebuah rumah bergarasi berlapis terpal coklat lusuh, tak jauh di hadapan mereka pun masih diam. Belum tampak tanda kehidupan. Namun, seorang anak tiba-tiba muncul dari palang pintunya. Berdiri memandangi. Dengan tangan kanannya mencengkeram benda berhulu: Sabit. Anak itu menghampiri, kedua matanya asing menggentayangi mereka berdua.

Keringat dingin menjalar ke tubuh mereka seketika. Dada mereka pucat bergemuruh. Membuat mereka gontai melangkah mundur. Waswas. Siap-siap lari terbirit.

“Biar aku ambilkan jika kalian mau..” Katanya menghentikan langkah mundur mereka. Sabitnya beralih ke pinggang. Dia berancang-ancang, siap menggerayapi pohonnya.

Keduanya memperhatikan bagaimana dahan dan cabang dilangkahinya satu per satu. Sesekali bunga pala-nya berjatuhan rontok. Mereka masih diam dengan mata melebar. Bingung dan aneh menjerat pikiran mereka berdua. Sarangnya di ujung jauh dahan. Bagaimana anak itu menggapai sarang burung itu?. Pikir keduanya. Anak itu harus membuat jari kakinya berjinjit kepayahan.

“Awas hati-ha..!!” Teriak Jo dengan dua telapak tangan mengapit mulutnya. Agar bersuara lantang. Namun harus terputus..

“Kraaaack..”

Dahan yang dipijakinya patah dan jatuh. Tangan kiri yang terkait erat ke dahan kuat menyelamatkannya. Sedang sarang sudah di tangan lainnya. Dibawah pohon itu terdapat tempat pembakaran sampah dan di sekitarnya beling-beling[2] liar menganga tajam. Siap mencabik tubuhnya. Andai saja ia benar-benar tertiarap jatuh.  Belum lagi sabit tanpa sarangka[3] tertanggal dari pinggang ke biritnya.

“Apa kau baik-baik saja..?” Tanya Jo. Pasi wajahnya.

Mik, di samping Jo hanya diam mendongak.  Fana. Seperti melihat aksi heroik yang biasa ia tonton setiap hari minggu di Televisi. Tatapannya menyelam kagum. Walau, sebenarnya, terbesit gumam kekhawatiran dalam hatinya. Ia tahu, gesekan kasar dahan patah melukai mata kakinya. Memar berdarah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline