Mak Yati, seorang pemulung, yang berkurban dua ekor kambing, kini menjadi sosok sangat yang fenomenal. Betapa tidak. Di tengah keterbatasan hidupnya, ia telah dengan sekuat tenaga menabung selama hampir tiga tahun agar bisa berkurban.Niatnya itu kesampaian pada tahun ini.
Seluruh negeri pun berdecak kagum, sebab di saat yang sama ada orang yang lebih mampu dari dia, tapi tidak melakukan tindakan yang sama. Saya termasuk yang kagum pada Mak Yati, kagum pada kegigihannya, ketekunannya, dan niat baiknya.
Tapi, suatu objek memang bisa ditafsirkan secara berbeda. Dianggap bagus oleh sekelompok orang belum tentu bagus menurut kelompok lainnya. Begitulah kehidupan, tak ada yang absolut, tak ada yang benar-benar pasti: kecuali itu pada ilmu pasti.
Sudut pandang skeptic
Pandangan seorang non-believer pada kasus ini ada pada kalimat “agama memang membius”. Orang rela miskin, rela mengorbankan harta paling berharga, bahkan banyak pula yang rela mengorbankan nyawa demi agama. Mak Yati adalah contoh manis untuk kasus ini.
Sudut pandang manajemen keuangan
Bagi seorang praktisi manajemen harta melihat apa yang dilakukan oleh Mak Yati, maka dia akan bergumam: “Pantesan miskin!”. Kenapa begitu? Salah satu rumus jika anda ingin lepas dari kemiskinan dunia, maka perhatikan betul ke mana uang anda dibelanjakan, ke mana uang anda mengalir.
Harta haruslah dibelanjakan pada hal yang produktif. Apa itu produktif? Memberikan nilai tambah. Jadi, jika anda ingin kaya maka kumpulkanlah harta produktif, bukan harta konsumtif. Rumus ini memang sederhana, tapi inilah yang dipraktikkan orang-orang kaya di seluruh dunia.
Mak Yati saat ini mungkin mendapatkan nilai tambah berupa harta dari popularitasnya, tetapi jika ia tidak mengubah pola manajemen keuangannya dengan hanya mengeluarkan uang untuk harta yang sifatnya produktif, maka sangat mungkin harta yang diperolehnya kini akan kembali lenyap dalam sekejap, dan dalam lima tahun ke depan kemungkinan besar ia masih tetap miskin.
Ada yang mengatakan, jika saja harta-harta orang kaya di seluruh dunia dikumpulkan dan dibagi rata ke semua orang miskin sehingga sampai pada level: semua orang memiliki jumlah harta yang sama, maka dipastikan komposisi seimbang tersebut dalam dua tahun akan berubah, dan orang-orang kaya akan kembali mendaptkan kekayaannya.
So, kaya itu bukan hanya karena kerja keras atau keberuntungan, tetapi menyangkut pula tabiat dalam mengelola hata.
Salam hormat untuk Mak Yati.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H