Lihat ke Halaman Asli

Katherine Kat

Wife, Mom & Self-employed

Warna Kulit dan Jati Diri Orang Asia

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Produk pemutih kulit sedemikian populernya di beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Bagi masyarakat Asia kulit putih seolah merupakan harga mati terhadap patokan kecantikan atau kondisi fisik yang ideal. Bahkan demi mencapai kondisi yang dianggap ideal ini tak jarang pula orang rela “bertaruh nyawa” dengan menggunakan produk-produk yang tidak terjamin keamanannya.

Fenomena kulit putih yang didambakan pria dan wanita di Asia ini sungguh unik sekaligus lucu. Bayangkan saja bangsa Asia sendiri terdiri dari beragam suku dan warna kulit, tidak hanya ras Asiatic Mogoloid namun ada juga Malayan Mongoloid yang tentu saja berkulit gelap. Bukannya masing-masing berbangga dengan warna kulitnya sendiri dan menghargai apa yang diberikan Pencipta-nya namun justru beberapa orang merasa malu bahkan khawatir karena kulitnya tidak seputih salju.

Di lain pihak selama dua tahun terakhir ini saya tinggal di negara bagian Victoria (Aus) dimana tingkat keberagamannya sangat tinggi baik dalam hal ras, suku bangsa, kepercayaan dan sebagainya ternyata patokan-patokan yang berlaku tidak sama.
Bukan rahasia jika orang Barat umumnya tergila-gila pada warna kulit gelap. Bagi mereka warna kulit gelap dianggap eksotis. Kebetulan saya dan suami berasal dari dua ras yang berbeda meski sama-sama WNI tentu saja. Saya yang keturunan Chinese dianggap sebagian orang di tanah air memiliki warna kulit yang ideal, sementara suami yang adalah orang Jawa dianggap warna kulitnya kurang ideal.
Lucunya di sini (Victoria) justru pandangan orang jauh berbeda, ketika saya hamil misalnya, saat ngobrol dengan sesama ibu hamil yang notabene adalah “bule” tulen banyak yang berkomentar mudah-mudahan anak kami nanti kulitnya “eksotis”(kata mereka) seperti ayahnya (suami saya).

Bukan hanya itu, menjelang musim panas (Summer) jelas sekali bagaimana orang di sini menganggap warna kulit gelap adalah warna kulit yang ideal. Begitu banyak wanita-wanita muda maupun berumur yang melakukan penggelapan warna kulit dengan berbagai cara. Bahkan meski pemerintah Victoria sendiri sudah berulang-ulang mengingatkan bahaya melakukan penggelapan warna kulit termasuk dengan berjemur di bawah terik matahari nyatanya tak membuat mereka berhenti berupaya memperoleh ‘warna kulit ideal’ tersebut.

Lebih lucunya lagi orang-orang yang berasal dari ras Asiatic Mongoloid baik yang sudah menjadi penduduk tetap di sini, lahir di sini maupun pendatang, entah asalnya dari Korea, China, Jepang, dsb. ternyata juga ikut terbawa pada penilaian warna kulit yang ideal ini, sehingga merekapun berlomba-lomba menggelapkan warna kulitnya.

Melihat fenomena tersebut saya merasa manusia sungguh menggelikan, lebih-lebih orang Asia. Seperti sudah saya sebut bahwa warna kulit adalah anugerah Tuhan, lantas ideal atau tidak adalah patokan yang dibuat manusia. Kenapa tidak bersyukur saja dengan apa yang ada?
Sementara untu bangsa Asia melihat dari fenomena ini saya merasa bukan hanya tidak bersyukur dengan apa yang ada namun bahkan seperti tak punya jati diri dan terombang-ambing oleh tolok ukur “ideal’ yang berbeda-beda tergantung dimana yang bersangkutan berada. Kadang saya bertanya dalam hati apa memang serendah itukah rasa percaya diri orang Asia?

Jadi pertanyaannya apakah kita masih mau mengikuti jebakan pemikiran yang menggelikan tersebut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline