Lihat ke Halaman Asli

Dua Tahun (Ini Cerita tentang Kemenangan)

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pebruari 2008. Tuut..tuut...klik! "Halo, kak?" suara dari seberang telepon genggamku kudengar sangat lemah. Aku mencoba ceria. Menguatkan hati. Entah hati siapa. "Hai, gimana kau, say? Jam berapa pesawatmu berangkat?" tanyaku menahan rasa rindu dan haru. Adikku, Deasy akan berangkat ke Penang, untuk berobat. "Catatanku tinggal kak.." "Catatan..???" "Iya, buku catatanku. Aku tulis semua ayat-ayat yang kuatkan aku disitu. SMS yang dikirim untuk aku supaya sembuh juga kutulis disitu. Aku lupa bawa. Ughh..." Dia serius kesal! "Ohh..tunggu sebentar ya." Tuuut...tuut...tuuut...klik! "Pak, bapak dimana?" tanyaku pada bapakku yang nomornya baru kuhubungi. "Dikantor, Mamak sama Bou sama Deasy udah bapak tinggal di Bandara. Bapak gak bisa nunggu. Catatan si Deasy tinggal pulak, gara-gara itu jadi tiba-tiba lemas dia tadi." Bapakku menjelaskan seakan tahu tujuanku menelpon tanpa harus kuberitahu dulu. "Trus? Gak bisa diambilkan untuk dia, pak? Suruh entah siapa, pak?" memohon kebaikan entah apa. "Gak bisa bapak, nak! Orang itu dah mau berangkat..." suara bapakku kedengaran kecewa. "Ohh...ya udah. Bapak sehat kan? Jangan mikir yang susah-susah yaa Oppung.." aku menaikkan nada suaraku, mencoba menyemangati. "Iya nak. Berdoa yaa. Bapak mau kerja." Klik! Tuuut...tuuutt...klik! "Des, aduh...bapak gak bisa ngantar buku catatanmu. Sabarlah kau yaa...jangan kau pikirin. nanti kami kirim lagi semua ayat-ayat yang menguatkanmu, ya bu..! Kan kau juga gak lama disana. Kalau kau pulang nanti kau tulis lagi yaa.." aku mencoba menguatkan lagi. "Iya kak..badanku jadi sakit lagi waktu teringat tadi." "Itulah! Makanya jangan yaa.. Kami berdoa untukmu, kau tahu, satu gerejaku dulu di Toli- Toli berdoa untukmu. Kawan-kawan SMA-ku. Kawan-kawan kuliahku yang sering ke rumah juga. Kawan-kawan se gerejaku di Kotamubagu ini juga, berdoa untukmu. Nanti kalau kau pulang dari Penang aku ke Medan ya sayang. Kau harus kuatkan hatimu untuk sembuh yaa." mencoba terus menguatkan. Nantinya aku tahu hati siapa yang lebih kuat menghadapi cobaan ini. Maret 2008. Kami bertemu dalam keharuan yang luar biasa. Dia bersukacita karena aku datang tapi karena aku datang tanpa memberi tahu, dia sangat terkejut. Sampai-sampai dia menangis. "Apa kau takut mati?" tanyaku suatu pagi. Aku baru saja mem-pel rumah kami. Dan dia sedang ng-jam bersama anakku, Abraham. Abraham main gitar-gitaran, Deasy jadi penabuh drum dengan irama dari mulutnya. Mereka berdua bermain musik indah sekali, walau aku tak mengerti lagu mereka. Abraham yang masih berumur dua tahun menciptakan melodi dengan irama 'ngawur', tapi karena adikku memang berbakat musik, akhirnya konser duet yang hampir seminggu ini mereka "gelar" di kamar atau ruang tamu itu bisa kedengaran kompak dan merdu. "Aku gak takut mati, kak! Aku masih mau hidup. Dokter Chris Theo juga nanya itu sama aku. Aku gak takut mati karna aku tahu di tangan siapa aku nanti mati. Tapi.." katanya sambil memangku Abraham di kursi ruang tamu. "Apa??" "Iblis untung atau rugi atau gak ya kalo aku mati? Karena Gerejaku kehilangan satu pelayannya." "Hm? Aku gak ngerti ahh.. Aku mau kau sembuh. Dan aku berdoa untuk itu." jawabku sambil menurunkan anakku dari pangkuannya dan menyuruh adikku istirahat di kamarnya. Duduk 15 menit aja akan 'membangkitkan' sesuatu yang membuat nadi dan vena dalam tubuhnya serasa mengalirkan sejuta jarum, menusuk seluruh saraf dalam tubuhnya, membuatnya kesakitan. Sangat kesakitan. Dan dia bilang hari itu dia mau komedo di hidungnya kubersihkan. "Dasar mentel Kau lagi berperang melawan kanker di tubuhmu tapi sempat mikirkan komedo di hidung mancungmu itu!" pikirku sambil tersenyum pada adikku. Deasy gak mau orang yang menjenguknya 'terganggu' dengan penampilannya. Dia gak mau kelihatan sakit. Jadi bukan hanya komedo yang seminggu sekali harus kami bersihkan, rambutnya harus wangi tiap hari, seperti biasanya sebelum dia sakit, dan ujung-ujung rambutnya yang pecah harus digunting oleh Namboruku yang tukang salon, alisnya jangan berantakan, dicabuti dan diatur biar matanya tampak bagus. Itu selain kuku jari yang dia suruh untuk digunting dan dibersihkan. Kami membantunya karena makin hari dia makin lemah dan makin sulit bergerak. Rupanya, hari ketika buku catatannya tinggal adalah hari terakhir dia bisa menulis di buku itu. Karena kadang dia sangat kesakitan ketika mencoba menulis atau duduk atau kadang bicara. April 2008. Tuuut...tuuut..klik! Aku mengangkat telepon dari Yanti, salah satu teman dekat adikku, teman-teman Deasy sering menelepon dan mengirimiku pesan ketika mereka tahu aku pulang ke Medan. Selain karena mereka sangat kuatir, aku memang dekat dengan sebagian besar teman-teman adikku. "Apa Yan?" tanyaku. "Kak..." Hiks..hikss..dia menangis! "Kenapa dek???" aku bingung. "Gimana Deasy, kak? Aku bingung. Haruskah aku datang? Aku gak bisa kerja kak..mikirin dia terus. Sedih aku kak.." dia masih juga menangis. Ugh...dadaku terasa berat entah dibebani apa. Mungkin karena aku gak tau jawabannya. "Doakan aja dia dek..jangan malah kau yang susah. Kau gak liat sih..dia kuat banget menghadapi sakitnya. Ketawa-ketawa sama murid-muridnya dia sekarang. Kau mau bicara? Tapi jangan nangis yaa..bisa??" aku gak menjawab pertanyaan Yanti. "Iya kak...aku mau bicara sama Deasy" Huuffhh...aku selamat, gak perlu menjawab pertanyaan pelik itu. Dan mereka berbincang dan tertawa-tawa. Entah membicarakan apa. Tapi aku sedih. Besoknya Yanti menelponku lagi. "Kak..aku ngasi hadiah apa ya sama dia. Tanggal 11 ulang tahunnya." tanyanya padaku. Dan entah kenapa aku tiba-tiba pintar! "Kau bikin rekaman. Video maksudku. Darimu dan kawan-kawan Deasy yang ada di Jakarta. Trus kirim tepat tanggal sebelas dan nanti aku bawakan kue ulangtahunnya waktu rekaman kalian diputar. Tapi nanti disitu kalian nyanyi selamat ulangtahun sama-sama ya.. Disitu aku bawa masuk kueku. Dari kita semua. Bagaimana??" tanyaku lagi. "Aaaaaaaaaaaah!!" YAnti itu penyanyi jadi suka berteriak, pikirku. Sepertinya dia setuju. "Iya..iya...iyaaaa!Iya kak...keren!keren!" dan mentel-nya minta ampun!! Aku senyum-senyum sendiri mikirkan ideku yang 'loncat' begitu aja dari pikiranku. 11 April 2008. Pagi itu, Deasy dapat hadiah paling besar. Kedatangan suamiku. Abang ipar satu-satunya, yang baru bisa berkunjung setelah sekian lama kami menikah. Dia menangis sambil berteriak keras sekali, "HALLLELUYAAAAH...HALELUYAH...HALELUYAAAH!!!" tetangga-tetangga kami sampai berdatangan, mengintip. Keheranan. Dan kami berdoa dalam sukacita. Siang harinya, aku dan suamiku menjemput video yang dikirim teman-teman Deasy dalam sebuah DVD. Deasy langsung menonton, aku buru-buru jemput kue. Sore harinya kami beribadah khusus untuk mensyukuri ulangtahunnya. Dalam gelap dan gerah karena mati lampu. Hari itu Deasy menyerahkan hadiah untuk Bapak dan Mamak kami. Hadiahnya kami diskusikan, seperti biasa setiap ada yang berulangtahun, dan dia suruh belikan hadiah untuk orangtuaku, sehari sebelum ulangtahunnya dengan gaji yang diberikan pimpinan salah satu kursus musik di Medan, tempat Deasy melatih biola. "Pak, Mak, seharusnya aku melakukan ini dari dulu. Tiap aku berulang tahun seharusnya aku mentraktir kalian. Karena kalian makanya aku ada di dunia. Dunia tempat aku hidup dan belajar. Belajar dari kalian dan dari Tuhan. Ini hadiah untuk kalian yaa..Sehat-sehat dan panjang umur ya Pak, Ya Mak..." Deasy memaksakan dirinya untuk bisa duduk, dan mencoba mengucapkan kata-kata itu dengan menahan sakit. Hampir tigapuluh orang yang ada dalam rumah kami saat itu menangis, terharu. Tapi aku malah bengong, sampai lupa menyerahkan hadiah untuk kedua orangtuaku yang sudah dari tadi ditanganku. Deasy ketawa geli melihatku. Dua hari kemudian, 13 April, dia menangis karena aku, suamiku dan anakku pamit pulang ke Sulawesi. Aku menghapus airmatanya, memandangnya kagum dan heran. Heran karena aku merasakan tatapannya sangat kesal padaku. Bukan karena aku harus pulang, tapi karena aku bilang "Kau harus sembuh. Kau akan sembuh." Mungkin dia pikir aku ini keras kepala sekali, tak mau memasrahkan pada Tuhan apapun yang DIA mau atas diri Deasy, entah Tuhan mau dia sembuh atau mati. Dia kesal aku keras kepala sekali, tapi saat itu aku belum mengerti. Saat dia bilang "Kak, menerima keputusan Tuhan bukan berarti menyerah kalah." Mei 2008. Seminggu setelah kematiannya, aku menemukan buku catatannya. Tulisannya dihalaman depan buku itu, ditulis begini olehnya ; "Untuk apa aku sehat jika Tuhan tidak menyertaiku? Tuhan menyertaiku dalam sakitku." (Deasy Olivia Tobing, 11 April 1982 - 10 Mei 2008) CUKUPLAH KASIH KARUNIA-KU BAGIMU, SEBAB JUSTRU DALAM KELEMAHANLAH KUASA-KU MENJADI SEMPURNA (IIKorintus 12 :9a) **Katherinajoggie** 09052010@11:50wita. Tulisanku ini untuk mengenang keberaniannya dan ketabahannya menerima kehendak Allah atas dirinya, Deasy menghadapi dengan baik kematiannya juga berani berusaha dengan tangguh untuk bertahan hidup. Kiranya bisa menghapus rasa kehilangan dan rindu atas kepergiannya. Dan semoga menginspirasi kita agar tangguh menghadapi hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline