Apakah kita termasuk pengadu atau yang lebih sering kedatangan orang yang mengadu?
Ketika menulis kalimat pembuka ini, spontan seakan-akan saya sedang menatap pada diri sendiri dan berkata dengan keras,
"Kalau Anda pengadu, sadarlah! Kalau sering kedatangan pengadu, bijaksanalah!"
Saya tidak marah atau tidak tersinggung pada diri sendiri yang berkata demikian. Selama ini saya memang sering berbicara pada diri sendiri. Adakala di depan cermin. Bisa dengan ekspresi marah atau sambil tersenyum.
Urusan mengadu memang banyak cerita dalam kehidupan ini. Bisa menjadi sumber keributan, perpecahan, bahkan kematian. Bila emosi panas yang bicara.
Bisa juga selesai tanpa masalah. Tak jadi perkara. Bila yang menerima bersikap bijaksana.
Pada dasarnya seorang pengadu yang merasa paling, sementara yang diadu salah itu dengan niat yang tidak baik. Mencari muka atau mencari dukungan. Tentu di luar konteks mengadukan hal tertentu.
Urusan mengadu ini cukup sering saya alami dalam dunia kerja. Orang yang mengadu sekalian untuk mencari muka, bisa dipastikan tidak suka dengan saya.
Boleh jadi di depan saya bermuka manis, di belakang membawa pisau yang siap menikam. Bila ada kesempatan.
Dalam hal ini mengadu ke bos tentu atas kejelekan dalam bekerja saya. Kalau mau mengadukan muka saya jelek, pasti bos tidak akan percaya.
Suatu waktu ketika saya menghadap bos ke kantornya tiba-tiba bos menegur. Sesuai info dari orang di pabrik yang dirahasiakan namanya, katanya saya hampir setiap hari ketika sore sebelum jam kerja selesai sudah masuk kamar tidur. Karena saya memang tidak tinggal di mes.