Katedrarajawen _Omong kosong. Ini berlaku buat saya, bahwa memasuki usia 25 akan mulai banyak tantangan, pikiran macam-macam, tuntutan ini dan itu, dan sibuk dengan deretan pencapaian. Membandingkan dengan pencapaian teman atau saudara. Risau tentang jodoh dan kemapanan. Takada itu.
Mengapa?
Hidup Apa Adanya
Sebelum memasuki usia 25 tahun dengan santai saja saya jalani. Bekerja di peternakan dan tinggal di mes saya lakoni apa adanya.
Karena saya pada waktu itu termasuk makhluk yang tidak dipenuhi pikiran macam-macam. Niatnya cuma hidup apa adanya. Tidak mau ada apa-apanya. Tidak berusaha membandingkan dengan orang lain. Masa bodoh itu.
Saya adalah saya. Inilah hidup saya. Orang lain adalah orang lain dan memiliki hidupnya sendiri. Gitu aja repot. Kata Gus Dur.
Saya menikmati pekerjaan yang ada jauh dari kota. Tenteram. Main bola setiap sore bersama teman sekerja. Malamnya nonton bola atau main tenis meja. Serunya pakai taruhan lagi. Judi. Sekarang sudah lupa caranya taruhan bola.
Saya pikir hal yang wajar waktu itu. Hidup seakan tanpa tekanan. Dalam hal pekerjaan pun saya pikir cukup lumayan. Semuanya saya jalani dengan santai. Karena tujuan hidup saya memang tidak bercita-cita setinggi langit.
Niatnya hanya jadi manusia biasa. Punya keluarga sederhana dan bahagia. Tidak ada nafsu jadi orang kaya. Yang kemudian hari agak saya sesali. Kenapa tidak mau jadi orang kaya?
Bagaimana dengan wanita idaman yang diimpikan? Saya juga termasuk tidak mau ribet dalam urusan pacaran. Punya pacar juga jauh di seberang pulau sana, hanya bisa melampiaskan rindu lewat surat dan telepon di warnet ketika hampir tengah malam. Demi irit biaya. Karena ada diskon.
Sempat terpikir suatu waktu akan menikah dengannya. Walaupun berada hampir di ujung Pulau Sumatra saya sudah pernah dua kali ke sana membawa rasa rindu dan cinta. Aduhai. Namun kenangan hanya jadi kenangan.