Katedrarajawen _Apa yang dilihat sebagai kebenaran, tidak pasti itu adalah kebenaran. Banyak sudah penglihatan mata dan pikiran kita yang tak terkendali telah menipu dan membuat malu.
Kamis, 21 Januari 2021, 21:43 WIB
Saat duduk merenungkan kehidupan ini dalam.aliran napas teratur, tiba-tiba teringat kabar kematian seorang sahabat dalam satu pejuang di kala muda.
Kematian yang memilukan. Sekian lama berjuang dalam rasa sakit dan melangkah ke jurang putus asa. Pernah terlintas bahwa kematian adalah jalan yang terbaik.
Yang menjadi bahan pembicaraan adalah saat menjelang kematiannya tiada istri dan anak-anak yang mendampingi.
Ke mana gerangan?
Kabar yang ada istrinya pergi dengan membawa dua anaknya ke suatu tempat. Pergi tanpa pesan dan kesan. Tiada yang menyangka hal ini terjadi.
Kasihan dan tega. Dua kata yang terucap menggambarkan kondisi yang ada. Kasian, saat kematian tiada keluarga tercinta yang mendampingi. Tega, gambaran untuk sang istri yang tanpa perasaan meninggalkannya di saat sakit-sakitan.
Awalnya saya juga berpikir demikian. Ada perasaan marah. Kok bisa? Apalagi kabarnya pergi dengan membawa sejumlah uang uang pesangon dan kendaraan.
Apakah ia benar-benar pergi dengan tanpa perasaan? Apakah saya bisa memastikan seperti itu? Tidakkah berpikir ia pergi dengan berlinang air mata membanjiri pipi? Tidakkah ia melangkahkan kaki dengan hati yang hancur lebur?