Lihat ke Halaman Asli

Katedrarajawen

TERVERIFIKASI

Anak Kehidupan

Cermin Mentertawakan Diri (1): Yang Benar Itu Mentertawakan

Diperbarui: 28 Desember 2020   00:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: postwrap/katedrarajawen

Katedrarajawen _Kerap kali saya  berpikir dan yakin sudah benar dalam melakukan suatu hal, ternyata itu adalah kesalahan setelah mengetahui kebenarannya.

Saat asyik menulis artikel Ayo Tertawa, Kita Semua Bisa Tertawa, saya ada menuliskan satu kata menertawakan. Saya yakin kata  ini ejaannya sudah pasti benar. Pas dan nyaman juga kalau mengucapkannya. Tidak ada yang janggal.

Namun tiba-tiba timbul keinginan untuk mengecek kebenarannya di KBBI. Alamak, ternyata tidak muncul kata menertawakan. Lalu saya ketik mentertawakan. Nah, ternyata ada. Jadi, jelas  yang benar adalah  mentertawakan  bukan menertawakan. 

Pada kejadian lain juga saya suka menulis kata mawas diri. Selama ini tidak ada masalah dan baik-baik saja. Artinya saya anggap ini adalah penulisan yang sudah  benar. Tidak pernah meragukan. 

Bila sudah benar mawas diri tentu tidak ada usaha untuk introspeksi. Akhirnya, tidak sengaja  saya menemukan ternyata penulisan mawas diri dengan maksud koreksi diri atau introspeksi adalah salah. Yang benar itu adalah wawas diri

Kemudian hal ini dikuatkan dari ilmu yang saya dapat di kelas menulis bersama Khrisna Pabichara, seorang pemengaruh Bahasa Indonesia yang diadakan Komunitas Kompasianer Penulis Berbalas. 

Mawas sendiri artinya orang utan. Bedakan dengan orang yang tinggal di hutan ya. Maksudnya orang utan itu jelas sejenis binatang yang masih bersaudara dengan kera. 

Pantas, selama ini saya tidak berubah juga walaupun sudah ratusan kali mawas diri. Karena tidak sadar sudah mengidentikkan diri sebagai orang utan dengan menulis mawas diri. Jelas tidak mungkin orang utan berubah jadi manusia, bukan?

Di lain waktu saya juga suka menulis kalimat kita harus meneladani para nabi. Tidak ada yang salah saya pikir. Karena saya juga sering kali  membaca atau mendengar kalimat yang kurang lebih seperti ini dari orang lain, bahkan penceramah terkenal. 

Ternyata selama ini saya dan orang yang berbicara atau mengatakan demikian sudah kurang ajar masih tidak menyadari. 

Kenapa? Karena kata meneladani ini  artinya memberi teladan. Jadi, kalimat kita harus meneladani para nabi artinya kita yang memberi teladan kepada para nabi. Keterlaluan, bukan? Benar-benar harus bertobat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline