Katedrarajawen _Baru Membaca judul "Ketika Menteri Tidak Bisa Menerjemahkan Instruksi Presiden, Siapakah yang Patut Disalahkan?" ini spontan saya berkata pada diri sendiri. Kalimatnya seperti judul tulisan ini.
Gini-gini saya juga pernah jadi pimpinan. Walau bawahannya bukan menteri. Minimal juga sekarang masih sebagai pimpinan. Pimpinan keluarga.
Sering kali saya praktikkan ilmu ini. Ada juga sih lupanya. Beberapa kali saja. Tidak jelas ilmu ini saya dapat dari mana. Yang pasti bukan dari bangku kuliah. Mungkin dapatnya dari semacam wangsit malam Jumat.
Dalam pekerjaan. Ketika saya sudah merasa menyampaikan apa yang harus dikerjakan dengan baik. Ternyata hasilnya tidak sesuai harapan.
Begitu pun saat berpesan kepada anak atau istri. Rasanya suda pakai bahasa yang mudah dimengerti. Kenyataannya? Masih saja ada yang tidak dipahami.
Si marah langsung berdiri di depan. Tetapi sebelum dimuntahkan. Si hati langsung menginstruksikan pada si otak. Coba pikir kembali. Ini sebenarnya yang salah si mulut atau si kuping?
Seperti itu prosesnya. Apa yang diperintahkan pelaksanaannya tidak sesuai. Di mana salahnya?
Sebagai pimpinan umumnya pasti akan berkesimpulan yang salah itu bawahan yang tidak bisa mengikuti perintah. Memang ada pimpinan yang mau disalahkan?
Ada. Tetapi itu jarang.
Itulah sebabnya seorang pimpinan perlu memiliki kerendahan hati untuk belajar mau menerima kesalahan. Jangan mentang-mentang.