Katedrarajawen_ Adakalanya kita melakukan kecerobohan. Apalagi anak-anak. Mungkin kita pernah mengalami situasi ketika anak memecahkan sesuatu. Piring atau gelas. Kalau kepala, jangan sampai.
Apa yang terjadi. Yang pasti tidak mungkin spontan kita akan tertawa. Karena memang ini bukan kejadian lucu.
Apalagi barang yang pecah itu baru dibeli atau merupakan benda kesayangan.
Sepertinya akan keluar nyanyian bak seorang rocker. Bisa ceramah panjang lebar. Anak terdiam ketakutan. Tak ada kesempatan untuk menjelaskan.
Ketika ada kesalahan umumnya reaksi pertama adalah kemarahan. Tanpa mau memahami penyebab kesalahan itu terjadi.
"Kamu salah, saya marah. Itu wajar." Ini lalu menjadi pedoman kebenaran. Selanjutnya menganggap sebagai 'ayat suci' kehidupan.
Dengan logika yang sederhana saja sebenarnya kita sudah paham. Kemarahan tidak akan mengembalikan barang yang sudah pecah utuh kembali.
Yang ada justru ada 'barang' yang lebih berharga menjadi pecah. Hati anak kita. Apa hati seorang anak sebanding dengan sebuah gelas?
Demi membela sebuah benda yang pecah, kita sampai memecahkan hati anak sendiri. Tragis, bukan?
Ingat pantun lama : Sapu tangan persegi empat. Seseginya di makan api. Luka di tangan dapat dikebat. Tiada obat luka di hati.
Mengalami kejadian ini, sebenarnya ada hal yang sangat sederhana bisa kita lakukan.