Tanpa sadar, acap kali kita menasehati atau membenarkan kesalahan orang lain, namun justru pada saat hampir bersamaan kita melakukan kesalahan yang sama.
Di kolom komentar, seseorang membenarkan kesalahan eja kata "mangkok" dan "kran" sebuah artikel yang ditulis orang yang cukup punya nama di negeri ini. Mantan wartawan dan punya jaringan media cetak. Keren.
Mangkok seharusnya "mangkuk" dan kran mestinya "keran". Ejaan baku memang seperti itu. Di akhir komentarnya, seseorang itu menulis kata "nuwon".
Nah, loh?! Benar saja, lalu ada yang berkomentar membenarkan ejaan tersebut yang seharusnya "nuwun".
Begitulah kehidupan sering berulang terjadi. Di depan membenarkan, di belakang melakukan kesalahan.
Tak heran, sering pula kita diingatkan untuk saling mengingatkan dan jangan merasa yang paling benar. Sebab bisa saja terjadi, saat melakukan hal yang benar, ada pula unsur kesalahan yang menyertai.
Kehidupan sudah membuktikan. Kita berteriak tentang kebebasan. Namun saat yang bersamaan kita melanggar kebebasan orang lain. Menuntut keadilan atau ingin diperlakukan adil, namun melakukan ketidakadilan.
Saat kita membela kebenaran. Tidak sesuai dengan kebenaran. Ketika menuntut hak, kita lalai akan kewajiban. Waktu kita menasehati orang lain, sesungguhnya itu lebih tepat untuk diri sendiri.
Jadi benarlah, bahwa kita perlu meneliti setiap hal yang kita lakukan. Dari awal sampai akhir. Tidak merasa diri paling benar. Boleh berkeyakinan, namun juga mau membuka diri dan lapang hati menerima kebenaran dari pihak lain.
Ketika ingin menyalahkan orang lain, meneliti terlebih dahulu. "Jangan - jangan saya juga melakukan kesalahan itu?" atau "Jangan - jangan apa yang menurut saya itu salah, ada kebenarannya?"
Ketika hendak menuntut kebebasan. "Apakah cara saya melanggar kebebasan?"