Pasca bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, 28 September 2018, masyarakat tergerak untuk mengadakan pengumpulan dana bantuan. Hati kita masing-masing pasti ikut tergelitik untuk menyumbang secara spontan.
Di salah satu grup WhatsApp yang saya ikuti pun mengadakan penggalangan dana. Tentu saya pun berniat untuk berdana sesuai dengan kemampuan.
Apa yang terjadi? Ketika penggumpulan dana mulai berjalan rata-rata yang menyumbang bernilai satu juta. Jadi ciut nyali dan berkecil hati. Karena niat yang ada menyumbang sekian puluh ribu.
Tunggulah, mungkin besok ada temannya. Tetap saja yang menyumbang dengan nominal sejuta dan lima ratus ribuan.
Jadi perang batin. Padahal di pengumuman sudah tertulis 'besar atau kecil dana Anda tetap berarti'. Saya kira sudah sangat paham dengan hal ini, berdana bukan soal besar atau kecil yang penting adalah niat dan ketulusan.
Itu kebenarannya. Tetapi tetap saja merasa minder. Ya, sudah menyumbang di tempat lain saja dengan cara transfer. Sama saja, kan?
Namun akhirnya tetap saya ikut menyumbang di grup WhatsApp dan masih tetap tercatat sebagai pendana dengan nilai terkecil.
Luar biasa memang, ketika ada niat untuk berbuat sesuatu yang baik, malah merasa malu dan rendah diri. Demi mementingkan muka dan gengsi. Kadang demi semua ini, niat baik yang sudah ada malah terkubur.
Sebaliknya ada pula yang demi muka dan gengsi melakukan melebihi kemampuan yang dimiliki, sehingga menjadi beban di kemudian hari dan penyesalan.
Sejatinya berbuat baik merupakan kealamian. Mengalir tanpa beban, malu atau gengsi. Bukan berbuat baik dengan segala syarat dan ketentuan yang membebani diri. Berbuat baik memang masih perlu perjuangan, bila memahami kebenaran ini hanya dalam teori.
Atas nama menjaga muka, harga diri dan gengsi, kita malah kehilangan untuk berbuat sesuai sejati diri. Beginilah dunia.