Aku pergi ke Puncak Keheningan menjumpai Sang Guru nan bijaksana. Damai dan sejuk bila sudah berjumpa. Wajahnya yang bercahaya dengan senyuman penuh kharisma.
Sang Guru selalu paham apa yang hendak kukatakan. Serasa segala isi pikiran dan hati tampak transparan. Aku ingin berdiskusi dengannya tentang kebenaran hidup yang masih dalam keraguan. Tentang makna serupa dengan dunia.
"Sahabatku," dengan lembut Sang Guru menyapa. "Semakin hari kesadaran manusia semakin rendah. Yang benar-benar sadar hanya sekian saja. Di lain sisi kepintaran manusia semakin tinggi. Yang sadarpun tidal bisa dikatakan sadar. Sebab masih dalam kelabilan hati."
Sang Guru memersilahkan aku meminum teh hangat yang telah beliau sediakan. Kehangatan mulai mengalir mengusir hawa sejuk yang sebelumnya sedikit membuatku kedinginan.
"Dalam kesadaran yang masih labil dan kepintaran yang menguasai manusia terperdaya hidup dalam pembenaran. Itulah kemudian manusia hidup dalam serupa dengan dunia. Kalau berbuat salah tidak apa-apa. Manusiawi. Apa kemudian yang terjadi? Manusia semakin terjerumus dalam kesalahan."
Tak sabar aku ingin protes,"Namanya juga manusia, Guru! Kalau salah ya wajarlah."
Sang Guru tersenyum,"Inilah salah satu contoh kebenaran tentang pembenaran. Wajar dan wajar. Semakin lama perilaku manusia makin kurang ajar. Karena disesatkan oleh pemikirannya sendiri. Oleh hati yang terdiri dari darah dan daging. Bukan atas nurani lagi. Lihatlah di sekitar kehidupanmu, berapa banyak yang dalam kesalahan masih bisa tertawa."
Sang Guru menatapku dengan lembut dan aku merasa. "Guru pasti ingin mengatakan saya ini salah satunya."
"Sahabat, kesalahan yang ada tidak cukup hanya dengan merasakan. Itu tidak akan berarti apa-apa. Sebab esok lusa kesalahan yang sama akan terulang dengan pembenaran yang selalu ada."
"Kenapa bisa demikian, Guru? suaraku bergetar ada menanggung rasa malu.
"Sahabatku, berapa banyak manusia di dunia ini yang tidak akan mengulangi kesalahannya dengan pertobatan yang sungguh-sungguh? Sangat jarang sekali. Sebab tidak mengganggap kesalahan itu sebagai dosa yang harus dibenci yang pada akhirnya sampai jijik berbuat kesalahan. Itulah awal jalan menuju kesucian dan akan membuat perilakunya berbeda dengan manusia yang masih terikat pada keduniawian."