Apakah kita benar-benar memiliki hati mulia dalam mengkritik seseorang atau sesuatu hal? Karena seringkali yang ada bukanlah mengkritik. Tetapi berubah menjadi sikap sinis dan sirik.
#
Pada kenyataannya mengkritik tidaklah mudah. Tidak segampang membalikkan telapak tangan. Perlu kedewasaan dan niat baik. Perlu adanya tujuan untuk memperbaiki bukannya menjatuhkan.
Namun yang terjadi kita yang berniat mengkritik bukannya menghasilkan perbaikan. Tapi sebaliknya, mendatangkan keburukan. Meruntuhkan semangat dan membunuh karakter seseorang.
Semua itu terjadi karena kita tidak benar-benar mengkritik. Kritikan yang baik itu ibarat seorang guru demi pertumbuhan murid-muridnya memberikan kata-kata pedas. Walau pedas tapi membangkitkan kesadaran.
Kritikan yang baik tentu adalah tertuju pada kesalahan. Tidak ada tendensi untuk menyerang pribadi seseorang. Karena tujuannya memang untuk memperbaiki kesalahan. Bukan untuk menghancurkan kepribadian seseorang.
Menjadi seorang pengkritik memang tidak mudah. Karena yang terjadi bukannya mengkritik. Tapi justru seringkali berubah menjadi sinisme.
Kita rela memberikan kritikan karena ada unsur ketidaksenangan atau perasaan permusuhan. Kita menjadi seseorang yang buta. Apapun yang dilakukan seseorang, baik dalam hal baik maupun buruk akan selalu kita kritisi.
Tujuannya tak lain adalah untuk mempermalukan atau menjatuhkan. Tentu hal ini menjadi tidak sehat. Apalagi apa yang kita lakukan ada unsur dendam pribadi.
Kalau ini yang terjadi. Bolehlah periksa hati kita. Mungkin kita masih punya pembenaran tujuan kita adalah untuk kebaikan. Tapi yang namanya sikap sinis, pastilah bukan hal yang baik.
Yang lebih parah lagi adalah atas nama mengkritik. Tapi itu tak lain hanya rasa sirik terhadap kelebihan seseorang.
Karena ketidakmampuan kita. Lalu kita menjadi sibuk dan repot mencari detail kesalahan orang lain. Tatkala menemukan kesalahan itu, kita menjadi gembira. Kita merasa memiliki senjata untuk mengkritik orang tersebut.