Lihat ke Halaman Asli

Katedrarajawen

TERVERIFIKASI

Anak Kehidupan

Bahasa Menunjukkan Bangsa#2.a: Hemat Pangkal Kaya

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kalimat "Hemat Pangkal Kaya" adalah sebuah pepatah yang sudah saya kenal sejak sekolah SD tahun 80-an. Karena mengamininya, maka sejak belajar hidup hemat dan saya jadi suka menabung dengan menggunakan celengan karena berharap kaya. Tanya nyatanya tidak kaya-kaya juga sampai sekarang.

Menurut saya pepatah "Hemat Pangkal Kaya" ini sudah tidak relevan pada jaman sekarang untuk bangsa kita. Karena pada jaman sekarang rakyat berlaku hemat itu bukan untuk berharap jadi kaya.
Tapi harus terpaksa hemat biar selamat. Rakyat terpaksa hemat karena hidupnya melarat. Jadi berhemat bukan lagi berharap untuk kaya tapi " Hemat Pangkal Selamat" . Minimal selamat melewati hari - hari.

Saya percaya rakyat kita sudah lama melupakan pepatah ini, karena sudah tidak cocok bagi mereka. Tapi celakanya pepatah ini justru menjadi pedoman bagi pejabat - pejabat negeri ini.
Saya tidak mengada-ada karena ini kenyataannyan. Karena para pejabat sangat mengamini pepatah "Hemat Pangkal Kaya" maka perbuatan korupsi dijadikan tradisi.
Kenapa bisa ?

Lihatlah, para pejabat di negara ini sangat hemat dalam penggunaan uang-uang negara untuk pembangunan demi untuk memperkaya dirinya. Uang yang seharusnya untuk rakyat, sedemikian hemat digunakan agar kelebihannya bisa masuk kantong sendiri.

Para pimpinan berseru-seru agar rakyat harus hidup prihatin dan hemat yang sebenarnya bertujuan agar mereka bisa hidup kaya dan berpesta. Karena ketika menjadi pejabat adalah kesempatan emas untuk memperkaya diri.

Marilah para rakyat hidup hemat, agar para pejabat hidup kaya atau kita ciptakan sebuah pepatah baru yang lebih pas "Rakyat Hidup Hemat Pangkal Kayanya Pejabat".

Bagaimana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline