Seumur-umur, walau entah berapa kali sudah bicara atau menulis tentang kematian, tapi Sabtu, 15 Februari 2014 baru secara langsung menyaksikan proses kematian.
Malam itu, kami berkumpul di rumah sakit berdoa untuk melepaskan kepergian kakak ipar setelah menderita sakit sekian lama dan upaya pengobatan yang terbaik telah dilakukan. Segala macam alat pengobatan terpasang untuk menunjang kelangsungan hidup. Namun akhirnya takdir yang menentukan.
Dari awal ada ketidakrelaan meninggalkan anak-anak dan suami sampai kemudian dengan tenang menghembuskan nafas yang terakhir. Lalu dokter yang menangani mengatakan, sudah 'pergi' karena dari alat yang terpasang sudah menunjukkan tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Semua saya saksikan di depan saya dengan tenang. Padahal biasanya saya paling takut menyaksikan kematian.
Semua yang Hidup Pasti Mati Tapi Hidup Bukan Untuk Menunggu Kematian
Setiap makhluk yang dilahirkan pada akhirnya akan mendapat giliran kematian dalam bentuk fisik. Walau seorang Nabi atau Buddha sekalipun. Ini adalah kebenaran mutlak yang tak dapat disanggah lagi.
Sebab yang namanya makhluk hidup, dalam hal ini manusia yang terdiri dari darah dan daging atau lebih rincinya terdiri dari lima unsur. Yakni air, api, kayu, logam, dan tanah adalah tidak kekal.
Setelah roh yang menghuni tubuh pergi, maka kelima unsur yang ada akan kembali ke asalnya. Roh yang akan mempertanggung jawabkan segala perbuatan semasa hidup.
Yang hidup memang pasti akan mati. Bukan berarti kita hidup hanya untuk menunggu mati. Lalu melakukan apa saja yang kita suka. Memuaskan nafsu dan berenang-senang dalam keduniawian. Tak heran ada istilah 'mumpung masih hidup, makanlah sepuasnya. Kalau sudah mati tak ada kesempatan lagi.' Ada persepsi yang salah dalam hal ini.
Hidup Harus Berarti
Kebenarannya adalah hidup bukan sekadar hidup untuk menunggu mati. Bila demikian alangkah sia-sianya kesempatan yang diberikan Tuhan selama keberadaan di dunia ini. Berakhir dengan penyesalan. Waktu yang berlalu tak mungkin kembali lagi.
Apa yang dapat kita berikan pada kehidupan ini, sehingga hidup kita menjadi berarti? Tentu dengan segala potensi yang kita miliki sebagai makhluk yang memiliki nurani dan akal budi banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menjadi berarti. Apalagi dalam kehidupan kita telah memiliki penuntun jalan berupa ajaran agama. Pasti kita paham dalam hal ini. Bagaimana menjadikan hidup ini berarti?