Lihat ke Halaman Asli

Katedrarajawen

TERVERIFIKASI

Anak Kehidupan

Menolong

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketika melakukan hal yang baik kepada orang lain dengan masih berharap akan mendapat imbalan. Apakah ini masih bisa dikatakan menolong? Bukankah yang namanya menolong itu adalah dengan hati yang tulus tanpa adanya pamrih?

Tetapi kita bisa membela diri kalau memang mau  menolong, cuma kalau diberi imbalan boleh apa salahnya diterima. Anggap saja rejeki. Yang namanya rejeki jangan ditolak. Bisa jadi ini menjadi semacam pembenaran bagi kita untuk (selalu) berbuat baik tapi tidak segan menerima imbalan.

Atas sebuah pertolongan yang kita lakukan sebuah ucapan terima kasih yang tulus pun sudah tak cukup bila tak disertai sebuah nilai dalam bentuk materi atau benda.

Menolong Tapi ada Tapinya....

Saya pernah  melihat beberapa orang berlarian menolong sebuah angkutan umum yang mogok. Dengan semangat mereka mendorong mobil tersebut sampai ke tepi jalan dan kemudian mesinnya bisa hidup lagi. Ketika sopir hanya bisa melambaikan tangan sambil mengucapkan terima kasih, orang-orang ini tampak kurang senang sambil ngedumel. Entah apa yang mereka katakan. Yang jelas ada raut kekecewaan.

Mungkin kehidupan yang tanpa kita sadari telah mengajarkan kita untuk hidup berpamrih.  Ketika kita kecil, orangtua menyuruh kita untuk membantu membersihkan rumah. Demi untuk memotivasi _dengan maksud baik sebenarnya, tapi hasilnya bisa tidak baik_ lalu dijanjikan akan diberi hadiah setelah selesai membantu.

Begitulah alam bawah sadar kita mencatat, bahwa untuk apa yang kita lakukan harus ada imbalannya. Kalau tidak ada imbalan malas ah. Buat apa capai-capai membantu orang lain kalau cuma dapat ucapan terima kasih?

Sekali lagi kehidupan di sekitar kita memang tak hentinya untuk mengajarkan kita untuk hidup berpamrih. Seperti belum lama ini saya alami sendiri. Dalam hati sudah niat mau menolong rekan kerja yang katanya sedang mengalami gangguan kesehatan.

Setelah saya pijit-pijit dan tiup-tiup (ha ha ha...kayak dukun ya?), sore harinya ia mengatakan ada perubahan. Ia merasa badannya lebih enak. Ia merasa sudah saya tolong, lalu ia bermaksud membelikan sesuatu buat anak saya sebagai tanda terima kasih. Coba, apa ini bukan godaan?

Menolong Itu Membahagiakan Bila ada Ketulusan

Baru-baru ini saya menonton sebuah acara di DAAI TV tentang para relawan Tzu Chi yang melakukan kegiatan sosial di Sechuan, Cina yang sedang terkena bencana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline