"Pendapat siapa yang paling benar dan paling pintar? bahwa 4x6 sama dengan 6x4 atau 4x6 tidak sama dengan 6x4? Kalau saya sih seperti biasa cuma bisa sok pintar dan sok benar bahwa seringkali di balik kesalahan itu ada kebenarannya dan di balik kebenaran itu ada salahnya. Jadi jangan hanya bisa menyalahkan dan selalu merasa paling benar."
Begitulah status FB yang saya tulis antara serius dan iseng berkenaan dengan kasus soal 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = ... yang sedang ramai di media sosial. Karena jawaban 4 x 6 dari seorang murid yang dibantu kakaknya yang sudah mahasiswa dalam mengerjakan PR tersebut disalahkan gurunya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan sang kakak dan ditulis di media sosial yang kemudian menjadi heboh dan geger sampai para ahli turun gunung. Yang cuma ahli-ahlian juga tak mau kalah beropini.
Berhubung kepintaran saya yang berhubungan dengan matematika jauh di bawa standar, tentu saya tidak sanggup berargumen tentang mana yang paling benar dengan segala macam penjelasannya. Lagi pula sudah banyak orang - orang pintar dan paham membahasnya. Lucunya, gemitnya kambuh.
Di Balik (apa yang kita anggap) Kesalahan itu Ada Kebenarannya
Sang kakak yang sudah mahasiswa tidak puas jawabannya yang sudah dianggap benar justru disalahkan guru adiknya di sekolah. Ketidakpuasan itu diungkapkan ke sosial media.
Apa bedanya 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 bukan 6 x 4. Bukankah jumlahnya 24 juga? Dalam hal ini tentu sang kakak tidak terima dan menyalahkan sang guru. Padahal dalam soal yang kelihatan begitu mudah itu ada tujuan tertentu untuk melatih proses berpikir murid. Bukan hasilnya yang terpenting. Ada penjelasan dan kesepakatan sebelumnya.
Kalau memang lebih utama hasilnya. Bisa saja 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 2 x 4 x 3. Toh hasilnya tetap 24. Tetapi bukan demikian masalahnya. Mudah tapi tidak sederhana itu.
Apa yang menurut sebagian orang bahwa sang guru yang bersalah justru sudah benar ketika menyalahkan jawaban 4 x 6. Karena seharusnya 6 x 4. Sang guru sudah melakukan sesuai ketentuan. Masalah soalnya terlalu berat atau tidak sesuai untuk murid kelas dua SD itu lain soal lagi. Ini bisa masuk dalam 'Di balik kebenaran itu ada salahnya'.
Dalam kehidupan sering terjadi apa yang kita lihat salah pada akhirnya kita menemukan kebenaran di baliknya. Bisa kita alami sendiri atau temukan dalam kehidupan keseharian.
Seperti yang bisa kita lihat tindakan Pak Ahok sebagai Wakil Gubernur Jakarta yang sering marah-marah. Menggunakan logika dan etika tentu apa yang dilakukan kita melihatnya sebagai kesalahan. Kebenarannya Pak Ahok marah karena ada alasan yang tepat. Marah kepada pegawai yang mencuri uang rakyat dan itu mengusik nuraninya.