Lihat ke Halaman Asli

Curug Cigamea

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cigamea, nama tersebut pertama saya dapatkan dari seorang sahabat lama yang tinggal di Bogor. Kemudian malam hari saya coba cek di google dan dapatlah beberapa foto tentang curug Cigamea. Hal tersebut semakin membuat saya semakin penasaran ingin mengunjungi tempat tersebut yang konon dekat dengan kota Bogor. Seperti biasa, I am a lonely traveller sometimes. Dan kadang dikala jemu, saya menemukan keasyikan sendiri berpetualangan di alam bebas. Tanpa disadari saya sudah melakukan hal tersebut semenjak saya bekerja di Bali. Hanya berbekal sebuah peta, saya bisa membawa mobil dari Denpasar – Jakarta seorang diri untuk pertama kalinya, hal tersebut mengalahkan rasa takut saya akan kesendirian dan kebosanan.

Seperti dalam film Into The Wild arahan sutradara Sean Penn. Dalam buku dan film Into The Wild, dikisahkan bagaimana seorang manusia harus keluar dari zona nyaman (comfort zone) dan mencoba bersahabat dengan alam. Kali ini saya mencoba keluar dari zona nyaman yang selama ini sering saya lakukan. Dengan mengendarai sepeda motor, saya mencoba seorang diri untuk menemukan dimana letak Curug Cigamea yang membuat saya penasaran selama beberapa hari ini. Dari arah Bekasi saya memacu motor saya melewati CibuburCileungsiCibinong – Pintu Tol Sentul, kemudian mengambil arah ke Bogor. Setelah sampai dipertigaan menuju ke kota Bogor, saya mengambil arah ke Kedung Halang - Warung Jambu, dari Warung Jambu saya belok kanan menuju ke arah Taman Jasmine, kemudian diteruskan ke arah terminal BubulakJL. Raya IPB Darmaga. Nah kemudian saya mencoba bertanya arah Curug Cigamea.

Perjalanan dilanjutkan dari depan IPB Darmaga menuju ke arah Leuwiliang, dari Jalan Raya Warung Boyong saya kembali bertanya dengan penduduk lokal. Dan jawabannya cukup mengejutkan, ia tidak pernah mengunjungi Curug Cigamea dan kemudian ia membantu saya untuk menanyakan dengan saudara lelakinya. Dari situlah saya tahu bahwa saya tidak salah jalan. Kemudian saya memacu motor saya kembali, entah mengapa saya sepertinya ingin kembali bertanya. Didepan Indomart saya bertanya ke seorang tukang ojek yang saya harapkan tahu arahnya, ternyata hanya 2 meter dari tempat saya bertanya ada sebuah belokan ke kiri. Nah itu arah ke Curug Cigamea, jadi apabila kalian mau kesana harus extra hati-hati jangan sampai keterusan. Sesampainya di Jalan Raya Warung Boyong yang menuju ke Leuwiliang, ada dua buah mini market (Indo Mart dan Alfa Mart) yang bersebrangan. Disitulah kalian harus belok ke kiri. Hebatnya...tidak ada satupun penunjuk jalan yang mengatakan bahwa jalan tersebut menuju ke Curug Cigamea. Menurut penuturan tukang ojek yang baik hati itu, jarak ke Curug Cigamea dari IndoMart sejauh 15 km. Berarti perkiraan saya sekitar 30 menit waktu tempuhnya.

Diujung tampak dengan  megah berdiri Gunung Salak, salahsatu gunung Keramat di Jawa Barat setelah Gunung Gede dan Ciremai. Karena konon di Gunung Salak inilah Prabu Siliwangi, Maharaja Kerajaan Hindu Padjajaran – Siliwangi moksa (menghilang). Beliau menghilang di Gunung Salak karena menurut sejarah terdesak oleh kerajaan Islam dari Cirebon. Untuk itu, saya mengikuti prinsip Tri Hita Karana(manusia dengan Tuhan, Alam dan sesama), saya percaya pasti ada hal yang secara kasat mata tidak terlihat -  yang berada disekitar gunung tersebut.  Untuk itu dalam hati saya selalu mengucapkan salam menurut kepercayaan agama saya. Yang saya minta agar diberi keselamatan dan agar tidak diberi hujan, karena saya ingin menikmati ciptaan Tuhan YME, the amazing waterfalls – Curug Cigamea. Dari penuturan teman  saya, bahwa Bogor dilanda hujan terus menerus dan saya disarankan agar jangan mengunjungi Curug tersebut. Tapi entah kenapa, minggu siang kemarin cuaca sangat bersahabat sekali, walau awan mendung berada di arah selatan gunung Salak. Bahkan Gunung Salak terlihat sangat indah sekali.

Jalan kecil yang menanjak menjadi tantangan sendiri buat saya, apabila kalian membawa mobil – saya sarankan agar membawa 4 wheel drive dan jangan lupa dicek remnya. Jalan yang dituju tidak terlalu lebar, lebarnya hanya 3,5m tapi beraspal cukup baik. Udara dingin segera menyambut saya karena ternyata lokasi yang dituju berada di perut Gunung Salak. Betapa senangnya saya karena disepanjang perjalanan saya bisa menghirup udara segar tanpa polusi dan terkadang saya mencium aroma kayu bakar. Sudah lama saya merindukan aroma kayu bakar, hal tersebut mengingatkan saya semasa berkunjung ke rumah almarhum nenek di Tulungagung. Almarhum selalu memakai kompor kayu bakar, walau sudah dibelikan kompor minyak oleh mama saya.

Kiri dan kanan jalan hanya keindahan alam tropis yang tiada terkira. Sawah yang menguning, beberapa orang sedang sibuk membajak sawah, rerimbunan pohon bambu, sementara dibelakangnya hutan lebat milik Sang Prabu Siliwangi di halaman rumahnya, Gunung Salak Permai. Hampir 30 menit berlalu, tapi saya masih belum menemukan tanda ke arah Curug. Saya jadi curiga apabila saya tersesat.  Ternyata diujung sebuah pertigaan, terdapat sebuah papan penunjuk arah dari kayu yang dicat warna hijau dengan cat yang sudah mengelupas sebagian dan tertulis,”Curug Cigamea, Gunung Bundar, Curug Ciampea, Curug Ciherang, Kawah Ratu”.

Saya ikuti saja petunjuk tersebut dan tidak berapa lama kemudian tibalah saya di pintu gerbang bertuliskan,”Selamat Datang, Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, Bogor”. Huh....tulisan tersebut semakin membingungkan saya, karena saya tidak hendak ke arah Gunung Halimun, tujuan utama saya adalah Curug Cigamea di Bogor. Ternyata setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 5000 saja (Rp 3000  untuk asuransi/org dan Rp 2000 untuk retribusi motor). Damned....it’s so cheap!! Pantesan saja tidak dikelola secara profesional, jangankan brosur yang memuat peta wisata. Bahkan di situs internet, informasi yang saya dapatkan sangat minim sekali. Inilah kehebatan Pemda Bogor dalam mengelola tempat wisata yang indah dan kehebatan Menteri Pariwisata Indonesia dalam membuat event internasional “Visit Indonesia year 2008”. Pelanduk didepan mata saja tidak keliahatan, sementara gajah disebrang lautan terlihat begitu bersinar. What a shame!!!

Jejeran pohon pinus menyambut saya...senangnya hati saya waktu itu. Selekasnya saya membuka helm pengaman, agar membiarkan setiap helai rambut di kepala dan otak saya menikmati keindahan alam dan kesejukan udara pegunungan. I was so speechless and act like a kid on the cycle. Sebelah kanan jalan terdapat papan pengumuman rute menuju ke Curug Ciampea yang hanya berjarak 200 m. Tapi saya meneruskan perjalanan hingga saya menemukan Curug Cigamea. Dijalan kecil tersebut, saya melihat seorang anak kecil melintas sambil membawa barang dagangan. Saya iba melihatnya, saya membalikkan motor dan membeli sebuah minuman soda sebagai penolak dahaga. Hm....masih sangat kecil sekali dan harus berjualan. Yang parah ia berjalan kaki dari tempat yang saya tidak tahu darimana ia berjualan.

Tak berapa lama, saya menemukan sebuah Curug yang bernama Curug Ciherang. Saya memarkir motor yang dikenakan biaya parkir sebesar Rp 3000/motor. Saya kemudian berjalan kaki menuju curug tersebut. Btw curug means waterfalls in Sundanese. Lokasi wisata tersebut cukup resik, beberapa orang sedang asyik bercengkarama dengan pasangannya dan beberapa keluarga sedang asyik melahap makanan di dalam saung yang disediakan gratis oleh pihak pengelola. Curug Ciherang tidak terlalu besar dan beberapa org sedang asyik mandi dibawah kucuran air terjun Ciherang. Wah senangnya melihat mereka bermain air. Tapi saya masih belum menemukan tempat yang saya impikan.

Hanya 15 menit saya menikmati Curug Ciherang yang ternyata memang disukai oleh keluarga karena ada fasilitas untuk anak-anak dan sebuah sungai kecil yang aman bagi para babies. Disepanjang jalan banyak muda mudi yang sedang asyik pacaran diatas motor sambil menikmati ridangnya pohon pinus. Hm....seru juga..

Wow...ternyata masih ada Curug Ngumpet, tapi saya nggak sempat kesana karena tujuan utama belum didapatkan. Jalan naik turun menguji ketahanan motor dan fisik saya. Dan banyak vila bari dibangun disana. Arghh...semoga pembangunan vila tersebut tidak mengganggu alam. Banyak juga vila yang disewakan. Wah kayaknya bisa dijadikan alternatif penginapan neh selain di puncak. Daripada macet di puncak, menginap di vila sekitar sini pasti nyaman dan terjangkau harganya. Banyak warung makanan di kanan dan kiri jalan, jadi tidak usah takut kuatir apabila lapar melanda pas saat liburan. Vila tersebut sangat cocok untuk tempat kontemplasi, retret dan lain sebagainya. Eh...ada vila pinken lho...semua catnya berwarna pinky!!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline