Situasi yang terjadi dilapangan menunjukkan bahwa pembelajaran di MKU, secara khusus mata kuliah Pendidikan Pancasila dan PKn sampai kini masih dilakukan secara konvensional, karena itu pembelajaran yang "contextualized multiple intelligence" masih belum terwujud. Persoalan yang terjadi terkait desain model pembelajaran serta aplikasinya belum cocok dengan karakteristik pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di MKU. Masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan adalah kebanyakan mahasiswa belum mampu menghubungkan ilmu yang telah mereka pelajari dengan aplikasi pengetahuan dalam kehidupan meraka.
Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang mereka peroleh kurang bermakna terutama dalam mengupayakan solusi bagi persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan yang terjadi disekitar mahasiswa. Pembelajaran yang mereka peroleh belum sepenuhnya mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan desposisi kewarganegaraan secara menyeluruh.
Hal ini disebabkan karena materi yang diberikan dalam pembelajaran kurang kontekstual, belum dikaitkan dengan kenyataan hidup mahasiswa, lebih menekankan pada penguasaan teori sehingga mahasiswa kurang diajak untuk berpikir kreatif, kritis, dan analitis yang berdampak pada timbulnya sikap apatis dari mahasiswa dan cenderung menganggap remeh serta kurang menarik (Surachmat, 2003). Selain itu metode atau model pembelajaran yang digunakan selama ini lebih bersifat teori dan kurang menekankan implementasi pada nilai-nilai kemanusiaan.
Implementasi pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegraan di Indonesia, masih memiliki banyak kelemahan dan cenderung kontraproduktif terhadap pengembangan diri serta kemampuan intelelektual mahasiswa. Suasana pembelajaran yang lebih bersifat Teacher Center Learning (TCL) ketimbang Teacher Center Learning (SCL), menyebabkan mahasiswa hanya menerima pengetahuan dari satu arah saja.
Menurut Suryadi (2006) pembelajaran yang konvesional ditandai dengan beberapa ciri seperti: kelas yang tertutup, penataan ruang yang statis dan formal, dosen sebagai sumber ilmu yang utama, papan tulis, penggunaan PPT melalui LCD dan proyektor sebagai sarana utama pembelajaran, suasana belajar yang hening sehingga lebih berkonsentrasi, adanya penggunaan buku wajib sebagai satu-satunya referensi dalam pembelajaran. Pembelajaran yang seperti ini disebut sebagai Banking Education dimana posisi guru/dosen lebih sebagai depositor sedangkan posisi mahasiswa adalah penerima (receiver) (Freire, 1993).
Oleh karena itu, penting untuk merancang suatu Model Pembelajaran Berbasis Proyek melalui Food Bank pada mata kuliah pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan produk rancangan pengembangan model pembelajaran berbasis proyek (PjBL) melalui Food Bank, khususnya membuat rancangan pengembangan model pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada analisis kebutuhan, kepraktisan, dan keefektifan pembelajar di abad 21.
Adapun langkah-langkah aplikasi model Project-Based Learning melalui Food Bank (Mardiati & Leba, 2018) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pembelajaran diawali dengan pembagian kelompok yang terdiri dari 5-6 mahasiswa secara heterogen (kemampuan, gender, etnis, dsb).
2. Setiap kelompok diminta untu berbagi peran baik sebagai ketua, maupun sekretaris.
3. Setiap kelompok diminta membuat rencana proyek melalui observasi, interview, atau dokumentasi.
4. Dosen menampilkan jurnal tentang berbagai masalah sosial khususnya tentang kemiskinan agar mahasiswa dapat menentukan topik masalah mendasar dalam melakukan investigasi.