Lihat ke Halaman Asli

Reza Fahlevi

Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

Jalankan Amanah UU No.10 Tahun 2016, Dukung Pilkada Serentak 2024

Diperbarui: 3 Februari 2021   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

POLEMIK revisi Undang-Undang Pemilu No.7 tahun 2017 yang diinisiasi DPR menjadi Program Legislasi Nasional Tahun 2021 untuk ditetapkan di Paripurna yang kemudian diharmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan istilah "normalisasi Pilkada" mengundang pro dan kontra.

Sebagian Fraksi di Komisi II DPR RI awalnya seperti Golkar, NasDem, Demokrat, PKS mengusulkan ke Baleg DPR untuk merevisi Undang-Undang Pemilu No.7 tahun 2017 tersebut terutama paket UU Pilkada No.10 Tahun 2016 tentang Jadwal Pilkada. Sementara Fraksi PDI Perjuangan, PKB, PPP dan PAN, terakhir Gerindra tidak ingin merevisi, melainkan tetap merujuk pada UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada, dimana ada pengaturan tentang keserentakan Pilkada secara nasional di tahun 2024.

Namun dalam perkembangannya, Fraksi Partai Golkar akhirnya tidak ingin melanjutkan revisi UU Pemilu dan menolak normalisasi Pilkada alias menerima Pilkada serentak tahun 2024. Sekarang, hingga tulisan ini tayang, tinggal Fraksi NasDem, Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS yang masih mendukung revisi UU Pemilu serta menolak Pilkada 2024.

Sementara bagaimana dengan sikap Pemerintah? Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri juga berpatokan atas UU No.10 Tahun 2016 terutama Pasal 201 Ayat (8) yang ingin klausul Keserentakan Pilkada secara nasional tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota tetap dijalankan. Mengingat hal tersebut merupakan amanah hasil perubahan kedua atas  UU No. 1 TAHUN 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 TAHUN 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Artinya, kepala daerah hasil pemilihan tahun 2017 (101 daerah) dan 2018 (170 daerah), yang akan berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, tidak akan diselenggarakan pilkada di daerahnya pada tahun tersebut. Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai tahun 2024.

Diketahui, provinsi yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada tahun 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sedangkan tahun 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatannya, antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua.

Jadi, jika ada anggapan Undang-Undang tersebut dibuat untuk menjegal salah seorang bakal calon Presiden potensial, hal itu salah besar. Sebut saja Anies Baswedan. Tokoh yang dianggap dijegal karena UU Pilkada yang meniadakan Pilkada tahun 2022 dan tahun 2023. Mengingat Undang-Undang No.10 tahun 2016 sudah diketuk palu tahun 2016, jauh sebelum Pilgub DKI tahun 2017 yang telah menjadikan Anies Baswedan, salah seorang bakal Capres potensial yang digadang-gadang sejumlah kelompok, dan akan dijegal dengan UU Pilkada No.10 tahun 2016.

Bahkan, rencana menyerentakkan seluruh Pilkada di Indonesia sudah muncul sejak UU Pilkada diformulasikan pada 2015. Awalnya, DPR dan Pemerintah saat itu mendisain Pilkada digelar sebanyak tujuh gelombang hingga benar-benar serentak pada 2027.

Gelombang pertama digelar 2015 untuk kepala daerah yang masa jabatannya habis pada tahun itu dan semester satu 2016.

Selanjutnya, gelombang kedua digelar pada 2017 untuk kepala daerah yang masa jabatannya habis pada semester kedua 2016 dan tahun 2017. Gelombang ketiga pada 2018 untuk kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2018 dan 2019.

Gelombang keempat dilaksanakan 2020 untuk melanjutkan pilkada 2015. Begitu pula 2022 dan 2023 yang melanjutkan pilkada 2017 dan 2018. Kemudian semua daerah akan mengikuti pilkada serentak pada 2027.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline