Lihat ke Halaman Asli

Reza Fahlevi

Direktur Eksekutif The Jakarta Institute

Pilkada Serentak 2020 dan Problem Akut Demokrasi

Diperbarui: 2 November 2020   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Adam/katapublik

Dalam kehidupan politik ada berbagai pilihan sistem. Salah satu dari pilihan itu adalah demokrasi. 

Demokrasi merupakan pilihan Indonesia sebagai negara Republik sejak proklamasi kemerdekaan 75 tahun silam. 

Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat termasuk di media massa atau media sosial (medsos) tetapi kebasan tersebut haruslah disertai dengan tanggung jawab. Sedangkan pemilu adalah konsekuensi logis dari demokrasi.

Demokrasi dari zaman ke zaman tentu akan menemukan problemnya yang berbeda. Berkat akselerasi teknologi informasi yang sangat canggih dengan penggunaan media sosial sebagai platform komunikasi digitalnya, manusia menyebut dunia seperti global village (perkampungan global) dengan tiga kata kunci; konektivitas, keterhubungan dan kecepatan. 

Dampaknya terhadap kehidupan demokrasi adalah mudah tersebarnya hoaks atau fakenews (kabar bohong) atas nama kebebasan. 

Karena itulah kita saat ini masuk ke era pasca-kebenaran (post-truth) yang menurut Kamus Oxford post-truth dapat didefnisikan sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Disinilah kualitas demokrasi jadi taruhan.

Masyarakat Telematika Indonesia menegaskan bahwa hoaks dan politik berjalan berkelindan. Dalam hasil survenya tahun 2017 melaporkan bahwa 91 persen responden sering mendengarkan informasi hoaks terkait isu sosial-politik dan 82 persen responden mendapatkan berita yang memuat SARA. Artinya hoaks sangat membahayakan kehidupan sosial-politik Indonesia.

Berdasarkan laporan kemenkominfo sejak Agustus 2018 - 31 Maret 2020 hoaks mencapai 5.156. Kategori politik menempati terbanyak pertama dengan total 1.025 hoaks, kategori pemerintahan menempati terbanyak kedua sebanyak 922 hoaks, sedangkan kesehatan menempati urutan terbanyak ketiga dengan jumlah 853 hoaks.

Mudahnya akses informasi dan adanya berbagai flatform media sosial (medsos) membuat hoaks dari tahun ke tahun tetap diproduksi oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab sesuai dengan kepentingannya. Pada bulan diselenggarakannya pilpres yaitu April 2019, hoaks mencapai 501 hoaks dan jumlah tersebut merupakan jumlah terbanyak dibanding bulan lainnya (Agustus 2018 - Maret 2020).

Secara berturut-turut Januari hingga puncak hoaks April 2019 mengalami peningkatan. Pada bulan Januari 2019 hoaks berjumlah 175 hoaks, 353 hoaks pada Februari, 2019, 453 hoaks pada Maret, 2019 dan 501 hoaks pada April, 2019. 

Kemudian jumlah hoaks pada bulan berikutnya melandai. Prediksi penulis, pola menjamurnya hoaks pada pilkada serentak Desember 2020 sama seperti pola merebaknya hoaks pada pilpres 2019 dengan puncak penyebaran hoaks akan terjadi pada bulan Desember 2020. Komisioner KPU, Viryan Aziz khawatir bahwa hoaks akan mewarnai pilkada serentak 2020 dengan potensi konflik horizontal yang besar seperti yang dilansir detik.com, 20 Agustus 2019.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline