Sebentar lagi, 270 daerah di Indonesia akan melangsungkan pilkada serentak, bumbu penyedap demokrasi dibubuhi sebagai sesajen pada negeri.
Semua bersila menunggu sesajen itu dihidangkan. Akan tetapi pilkada 2020 dihimpit oleh kondisi bumi yang belum pulih dari pandemi, berakhirnya pun belum bisa dideteksi oleh semua negara di dunia.
Semuanya hanya menerka tanpa jajak pendapat yang pasti. Akhirnya umat manusia tengah dilema sosial, ekonomi dijinjing tapi kosong barangnya. Dan bahkan sekalipun nyawa, seakan dengan mudahnya ditebak akan melayang ketika jeruji pandemi menghampiri.
Meski hantu pandemi menakut-nakuti, tak ada alasan untuk memeriahkan hajatan itu, semua orang perlu "merasa" merayakannya, diantaranya peranan masing-masing orang di dalamnya ada tambatan yang padu bagaimana perayaannya dapat lancar.
Kuah, nasi, ikan, dan lauk-lauk lainnya tentu berbeda wadahnya, ada porsinya masing-masing. Dan kerja kolaboratif ini tolok ukur suksesi hajatan demokrasi menuai prestasi dengan segala harap publik.
Sama pula, dengan penyelenggaraan pilkada 2020, kerja keras KPU, bawaslu, Polri dan TNI adalah harga mati untuk menentukan jalan terjal pilkada.
Karena kualitas demokrasi akan menyusul sengkarut tidaknya sampai berada di persimpangan jalan, antara memenuhi demokrasi para elit atau demokrasi rakyat. Jika representasi pilkada dalam praktiknya seperti ini, maka demokrasi berada di jurang suram yang lembab. Inilah yang pada tahun 2019 silam, wujud "demokrasi dikorupsi" nyata adanya.
Sesuatu yang tidak diinginkan adanya. Lagi-lagi, frasa "merasa" merayakan ini adalah bentuk kekhawatiran taraf perayaan pilkada hanya memperpanjang dinasti oligarki.
Sepanjang civil society ambil bagian dalam frasa tersebut, maka sengkarut demokrasi tak akan berujung karat.
Oleh sebabnya, pandemi global menyentak dada dan ingatan, bertahun-tahun silam, antipati masyarakat dalam pemilihan menjadi pasar dalam pemenuhan hasrat elit, yang bisa dibeli kapan saja.
Rakyat tak ubahnya barang yang dengan harga receh dapat dibeli seenaknya saja. TNI dan Polri layaknya wujud benteng tak bertuan. Dan elit partai dan kroninya saja yang mengakuisi fragmen demokrasi itu dengan tajir.