Desakan menolak Pilkada karena berpotensi membuat kerumunan orang saat kampanye dan ketika pemungutan suara terbantahkan dengan regulasi yang mengatur metode kampanye dan seluruh tahapan Pilkada dengan protokol kesehatan.
Mirisnya, banyak kelompok yang selama ini menuntut Pilkada ditunda agar tidak menjadi klaster penyebaran Covid-19, justru memobilisasi massa untuk aksi menolak UU Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Bukan maksud penulis melarang Hak Demokrasi warga negara atau kelompok untuk berserikat, mengeluarkan pendapat. Namun, sungguh sangat miris jika selama ini mendesak Pilkada ditolak, namun aksi demonstrasi dengan berkerumun.
Kita tahu bersama, kurva Corona tak kunjung landai, pandemi terus mengintai. Karena itu, tak dapat dipastikan kapan berakhir apalagi vaksinnya belum ada kepastian. Ikhtiar terus dilakukan untuk bisa mengakhiri pandemi yang sukar di lawan.
Kondisi ini tentu butuh perhatian khusus dan ekstra penanganan yang sangat serius. Pun negara juga harus optimis bahwa pandemi akan sirna walaupun tak dapat dipastikan kapan berakhirnya.
Untuk itu, harus ada spirit kolektif menyelesaikan pandemi Corona, paling tidak publik punya kesadaran menjaga pola hidup sehat, disiplin serta patuh terhadap protokol kesehatan.
Hal tersebut tentu sangat efektif untuk mencegah eskalasi penyebaran dan penularan virus yang ekstra mematikan tersebut.
Namun jangan lupa, sekalipun dalam suasana pandemi Corona, kita tidak boleh abai terhadap agenda kebangsaan yang juga tak kalah pentingnya, yaitu momentum suksesi kepemimpinan di tingkat lokal atau yang lazim disebut Pilkada serentak sebagai ritus politik lima tahunan yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang.
Musim pandemi Covid-19 tak jadi halangan untuk tidak menggelar sirkulasi kepemimpinan elit lokal tersebut.
Sebesar apa pun tantangan dan rintangannya, ritual lima tahunan itu tidak boleh ditunda karena tak ada yang bisa menjamin apalagi memastikan Corona sirna dari bumi Indonesia.
Argumen bahwa pilkada melibatkan kerumunan massa potensial meningkatkan eskalasi penyebaran Covid-19 justru kontradiksi dengan realitas yang terjadi di lapangan.