Lihat ke Halaman Asli

Berbuat [bukan] Berdebat

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1333127355988048140

Gonjang-ganjing yang terjadi dikompasiana tentang berbagai isu dari mulai koloni-ngan, kolo-m teraktual, sampai tulisan yang gak mutu akan terus bertambah kisruh dan tambah ramai jika kita terus berdebat, berbantahan dan saling menyalahkan. Terutama karena kepalanya dibuat membatu oleh kepintaran-kepintarannya.

Otak cenderung mengejar tujuan, jika masing-masing bersikukuh dengan apa yang dianggapnya benar tanpa mencoba memahami dari sisi ‘sebalik’nya maka masalahnya tidak akan pernah selesai. Sama seperti batu yang apabila disatukan TIDAK akan bisa menyatu rapi seperti air. Batu akan bertabrakan dan saling menendang apabila disatukan, manusia juga serupa terutama manusia-manusia yang dibuat membatu oleh kepintaran-kepintarannya.

Dari perdebatan-perdebatan yang saya baca rata-rata menganggap dirinyalah yang paling benar. Jarang sekali ada yang mengemukakan pendapat sekaligus juga memahami dan mencoba berada pada posisi ‘lawan’nya. Sebahagian besar hanya melihat dari sisinya sendiri. Sementara pengalaman hidup masing-masing orang berbeda-beda. Bukankah yang membuat kita berpandangan dan berpola pikir seperti sekarang adalah hasil dari pengalaman atau apa-apa yang kita lihat, dengar dan alami sebelumnya. Sebagai contoh; 2 orang salesman yang di suruh menjual 50 microwave selama satu minggu. Si Pulan berjualan ke kota A dan sanggup menghabiskannya kurang dari satu minggu. Sementara Si Panjul yang berjualan ke kota B hanya menjual 4 [shi] microwave saja. Dan selama satu minggu itu dia bertemu dengan penjual microwave lainnya yang juga kesulitan dalam menjual. Dari dua pengalaman yang berbeda ini tentu menghasilkan 2 keyakinan [sementara] yang berbeda. Dan masing-masing mengandung kebenarannya sendiri-sendiri.

Contoh lainnya adalah cerita tentang seorang penjahat yang sudah bertobat menjadi orang baik [alim]. Orang-orang yang mengenalnya dahulu dan belum tahu dia sudah bertobat tentu masih menganggap dia orang jahat berdasarkan apa yang pernah dilihat dan dengar sebelumnya. Berbeda dengan orang-orang yang mengenalnya sekarang dan tidak tahu tentang masa lalunya. Orang-orang ini tentu menilai bahwa ia orang baik, berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar dan alami.

Jangan buru-buru membuat penilaian terhadap seseorang apabila kita tidak mengerti apa yang dilakukannya. Mengutip apa yang pernah dikatakan Gede Prama, nasehatnya adalah “Bila ada yang belum bisa dimengerti, kemungkinan ia jauh diatas kemampuan pikiran untuk bisa mengerti. Atau sebaliknya terlalu sederhana untuk bisa memuaskan kerumitan pikiran”. Dan bila ada orang terlihat hidup lain dari yang biasa kita lakukan, belum tentu juga buruk, belum tentu juga salah. Bisa jadi kita yang belum berhasil untuk mengerti.

So kalau begitu marilah kita kurangi perdebatan-perdebatan yang mengatas namakan EGO. Dan berbuat lebih banyak lagi untuk hal yang kita harapkan. Dari pada kita menghujat tulisan tidak bermutu lebih baik kita buat lebih banyak tulisan bermutu agar tulisan yang tidak bermutu itu tidak memiliki tempat dirumah sehat kompasiana ini. Kalaupun harus mendebat sesuatu maka usahakanlah untuk coba memahami terlebih dahulu kenapa ia seperti itu agar anda bisa mendebat dengan lebih bijak lagi.

Note : Semua yang saya tulis ini juga merupakan pembelajaran buat saya pribadi dan saya terus berusaha belajar untuk bertumbuh menjadi lebih baik. Belajar...belajar dan belajar terus^_^.

13331275581817490334

Salam Bijak Palsu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline