Memasuki gereja bukan merupakan masalah bagi saya, malah pernah saya dan dua orang teman saya rela dijadikan “sandera” oleh teman begadang kami yang satu-satunya beragama Katholik. Ketika malam Natal tiba, dia tidak mau ke gereja karena takut kami peri entah ke mana. Demi teman, kami pun terpaksa menemani dia ke gereja mengikuti misa Natal. Kebetulan saat ini jemaat membludak sehingga kami kebagian di deretan paling belakang. Dengan demikian kami tidak merasa kagok, bahkan ikut bernyanyi, “Gloo-o-o-o-o-o-o-gloria . . . “ dan pada saat pembagian roti kami berdua perlahan menyelinap ke barisan orang yang keluar.
Tidak demikian pada malam tahun baru tadi kemarin malam. Anak saya rencananya akan bernyanyi di gereja tempat guru les piano dan vokalnya menyambut tahun baru. Seperti yang sudah-sudah, tujuannya agar anak saya bisa membiasakan diri tampil di depan khalayak ramai. Apa daya, yang tadinya si guru janji akan menjemput anak saya, rupanya dibatalkan karena ketika berangkat dari rumahnya si guru membawa beberapa orang keluarganya sehingga anak saya tidak bisa masuk. Namun rupanya dia berusaha untuk menjemputnya. Lagi-lagi, rencana tinggallah rencana. Tiba-tiba datang anak si guru dan meminta saya agar saya membawa anak saya ke gereja karena ibunya tidak sempat.
“Apa boleh buat,” kataku (taik kuda sudah bulat).
Sesampai di gereja, si guru datang menyambut saya dengan antusiasnya dan bersikeras agar saya ikut menemani anak saya. Karena segan dilihat orang-orang di sekeliling kami saya menolak ajakan itu, saya pun. Eit . . . saya didudukkan di barisan ketiga. Mula-mula saya pikir acara khotbahnya sudah selesai, no problema. Anak saya pun selesai menyanyikan sebuah lagu.
Betapa kagetnya setelah diselingi oleh penampilan korus gereja, muncullah seorang pendeta dari deretan orang-orang berjas dari samping mimbar. “Mati aku,” kataku dalam hati. Pikiran pun kacau; dan teringat sebuah adegan pada satu adegan dalam film ber-CD-banyak “Band of Brother” yang telah beberapa kali saya ulang menontonnya: setiap ada perubahan dari rencana, hal yang harus dilakukan tidak lain dan tidak bukan ialah berimprovisasi, yang jika tidak akibatnya akan fatal.
Saya pun ikut menghayati khotbah pendeta yang bertemakan Roma 12:2 (atau Roma 2:12, saya lupa, maklum tidak lagi fokus). Sampai khotbah selesai tidak ada masalah yang bertentangan dengan akidah saya karena si pendeta hanya menjelaskan bagaiman caranya agar pada tahun baru ini semua jemaatd bisa menjadi lebih baik terutama akhlaknya.
Toeeeeeng . . . “Meski bagaimana lagi ini,” saya pun ikut berdiri ketika jemaat diminta berdiri untuk bernyanyi. Anak saya sudah senyum-senyum dari bagian samping kiri gereja tempat dia duduk didekat piano gurunya; berapa kali dia menoleh ke saya sambil senyum kecil. Tidak ada masalah pada baris syair yang ada kata “Allah” karena Tuhan saya juga bernama Allah kok. Ketika muncul, “Haleluyah” saya pun berimprovisasi, tepat atau salah tidak peduli, saya padankan dengan “Allahu Akbar.” Lega rasanya setelah selesai bernyanyi; anak saya kembali ketawa kecil (mungkin lucu rasanya saya ikut beribadat dengan jemaat gereja).
Bah . . . berdoa pula! Tenang, yang ini kan diucapkan dalam hati walaupun “amin harus diucapkan; kali ini tidak! Selama si pendeta membacakan doanya, saya pun fokus pada doa yang saya baca.
Berhasil, berhasil, berhasil. Anak saya kembali senyum menoleh ke arah saya.
Rupanya anak saya yang masih kelas empat esde itu penasaran sekali atas tindakan saya di gereja. Begitu kami masuk rumah, anak saya bertanya, “Ayah kok ikut bernyanyi dan berdoa.”
“Mengapa rupanya,” saya jawab dengan bangga (sangat bangga karena improvisasi berhasil-berhasil-berhasil).