Lihat ke Halaman Asli

Surat Terbuka kepada Ahok

Diperbarui: 27 Desember 2016   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mudah-mudahan Anda tabah untuk menjalani proses yang masih terus berlangsung beberapa waktu ke depan.

Untuk itu, sebagai salah seorang yang tetap menginginkan Anda jadi gubernur untuk periode kedua, Anda ada baik menyimak hal-hal yang saya jelaskan berikut ini.

I. Materi Pembelaan Anda

Saya sangat menyangkan KELALAIAN ANDA dalam menyelamatkan diri Anda sendiri dari kasus ini. Mengapa saya saya sebut sebagai KELALAIAN? Dari tangkisan hakim, HANYA DENGAN BUKU PENGANTAR HUKUM  hakim sudah dapat menilai bahwa isi pembelaan Anda itu BUKAN MERUPAKAN ISI yang seharusnya disampaikan pada saat pembelaan Anda tersebut. Terhadap hal ini saya punya dua pertanyaan:

1. Apakah, TANPA PENGETAHUAN SEDIKIT PUN TENTANG APA ITU MATERI PEMBELAAN, Anda bersikeras untuk tetap menyampaikan APA YANG SEHARUSNYA MENURUT ANDA YANG DISAMPAIKAN dengan mengabaikan saran penasehat hukum (PH) Anda.?

Jika begini memang halnya, ya . . . ini harus Anda jadikan sebagai pengalaman berharga agar kesempatan lain Anda jangan terlalu keukeuh terhadap pendapat Anda  sendiri.

2. Jika memang tidak demikian halnya, saya sarankan agar Anda JANGAN TERLALU TERPEDAYA dengan profesi atau kepakaran orang lain: kawallah diri Anda sendiri dengan mencari pengetahuan sendiri BERDASARKAN INFORMASI YANG DIBERIKAN OLEH ORANG LAIN, yang kalau perlu mencari sumber ketiga, keempat, dst. Jika memang Anda tidak mendapat PETUNJUK YANG BENAR dari penasehat hukum Anda yang konon katanya hampir 80 orang itu, saya sarankan agar Anda MENILAI LAGI KEMAMPUAN DAN KEPAKARAN teman-teman Anda tersebut.

Dalam beragama, saya sejak dulu telah menjalankan prinsip ini. Begitu dapat informasi dari pemuka agama, saya segera memikirkannya dan jika terasa ada ganjalan, sejak itulah saya berpikir-dan-berpikir terus. Saya berikan satu kasus berikut ini.

Karena bioskop hanya berjarak 400 m dari rumah saya, tempat bermain saya salah satunya ialah halaman bioskop tersebut sehingga para karyawannya sudah menjadi teman saya. Karena itu, walaupun saya masih siswa kelas 3 SD, saya sudah sering nonton film bergolongan 17 tahun, dan yang saya senangi ialah film perang. Sisi-sisi kemanusiaan yang ditunjukkan dalam film-film perang tersebut membuat saya menyangsikan apa yang dikatakan oleh guru agama saya bahwa manusia selain yang beragama Islam akan menjadi penghuni neraka SELAMANYA. Sesuai dengan keadaan saya saat itu, miskin mana lagi tinggal di satu ibu kota kabupaten, kesangsian itu tinggallah sebagai kesangsian yang berlarut. Untungnya, lama kelamaan tidak begitu menghantui lagi

Akan tetapi, kesangsian ini bertambah ketika saya membaca catatan harian Achmad Wahib yang salah satu catatannya ialah keinginannya untuk bertanya kepada Nabi Muhammad asws (alayhi as-shalawatu wa as-salamu), jika sekiranya Nabi hidup, “Mengapa para romo yang bekerja di tempat Achmad Wahib menumpang tetap masuk neraka?”

“Oo . . . , rupanya saya bukan sendiri,” kataku dalam hati. Pencarian jawaban menjadi lebih dipergiat lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline