Lihat ke Halaman Asli

Apa Sebutan yang Pas Buat Saya , Jika . . .

Diperbarui: 6 November 2016   22:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mempelajari kitab suci adalah kewajiban bagi setiap pemeluk agama, apa pun agamanya itu. Karena saya tidak pernah belajar membaca huruf hijaiyah, bacaan Qur’an saya masih kelas “terbata-bata” karena belajarnya baru mulai setelah dewasa, yakni setelah di atas usia 20. Itu pun selesainya baru sebatas al-Maidah 100, kalau tidak lupa. Bacaan saya tidak maju-maju lagi, karena jika saya membaca Qur’an bahasa Arab dan terjemahan bahasa Indonesia secara selang-seling, keruntutan pemahaman antar-ayatnya menjadi kurang-nyambung sehingga, terlebih kalau ayatnya menarik, tidak sadar lalai juga membaca huruf hijaiyahnya. Jangan ditanya tentang tajwidnya.

Qur’an pegangan saya dalam berislam ialah “Terjemahan Qur’an Karim” (TQK) yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. M Yunus. Penerjemahan ini telah dimulainya sejak 1922 yang pada masa itu beliau banyak ditentang oleh para ulama Hindia Belanda karena menurut para ulama ini, pekerjaan yang dilakukan oleh beliau bukanlah pekerjaan mulia, tetapi pekerjaan yang haram dilakukan. Pekerjaan “haram” ini terhenti sementara karena beliau berangkat belajar ke al-Azhar dan pindah lagi ke Darul ‘Ulum. Di sana beliau merupakan mahasiswa pertama dari Indonesia sekaligus mahasiswa pertama yang bangsa asing. Penerjemahan dilanjutkan sejak bulan puasa pada 1935 dan dengan perjuangan yang susah payah atas persetujuan menteri agama ketika itu, buku Terjemahan Qur’an Karim ini disetujui untuk diterbitkan. Sayang, mungkin karena mendapat tantangan dari seorang ulama asal Jogya, niat menteri agama itu gagal, lalu penerbitan diambil-alih oleh perusahaan swasta di Bandung. Di samping (jabatan terakhir) pernah jadi rektor IAIN Imam Bonjol, Padang, M. Yunus ketika menjadi anggota Tsu Sangi Kai (1943 – 1945), salah satu capaian beliau ialah berhasil memasukkan mata pelajaran agama islam pada sekolah-sekolah negeri.

Buku kedua terjemahan Qur’an pegangan saya ialah “Reformist Qur’an” (RQ) yang diterjemahkan oleh Edip Yuksel, Layth Saleh al-Shaiban, dan Martha Schulte-Nafeh. Walaupun banyak penerbit di Amerika Serikat yang takut menerbitkannya, buku ini akhirnya terbit juga pada 2007. Begitu pun, setelah terbit banyak negara yang mengharamkan masuknya buku terjemahan ini ke negara masing-masing. Bagaimana mutu terjemahan buku ini tercermin dari komentar pembaca, yang salah satunya dari Gatut Adisoma Ph.D. dari Indonesia yang mengatakan bahwa penerjemahan ini merupakan pendekatan yang tidak saja bernyali, berani, dan non-tradisional, tetapi juga membuka banyak mata bahwa Qur’an itu bersifat dinamis dan relevan sampai kapan pun. Salah satu ciri penerjemahan buku Edip Yuksel, dkk. ini ialah penerjemahan Qur’an-dengan-Qur’an dalam arti makna satu kata ditemukan dengan menelaah penggunaan kata tersebut pada ayat-ayat lain. Akan tetapi, bagi saya, hal yang menarik ialah kesamaan redaksi penerjemahan RQ ini mirip dengan TQK pada hal kedua buku terjemahan ini dikerjakan pada selang waktu yang hampir 80 tahun di dua negeri yang berjauhan (Turki).

Salah satu redaksi terjemahan yang persis sama ialah al-Maidah 51. Dalam TQK ayat itu diterjemahkannya sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu angkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali. Sebagian mereka menjadi wali bagi yang lain. Barang siapa mengangkat mereka itu di antara kamu, sesungguhnya ia masuk golongan mereka. Sungguh Allah tiada menunjuki kaum aniaya.”

sementara itu, RQ menerjemahkannya sebagai berikut:

O you who acknowledge, do not take the Jews and the Nazarenes as allies, for they are allies to one another; and whoever takes them as such from amongst you is one of them.God does not guide the wicked people.”

Anotasi kedua buku ini juga sealiran. Dalam anotasinya untuk al-Maidah 51 ini, M. Yunus menulis:

[Dalam ayat ini Allah melarang orang-orang beriman mengangkat Yahudi dan Nasrani menjadi wali, yaitu bertolong-tolongan dan berkasih-sayang dengan mereka, bila mereka memusuhi dan hendak memerangi Nabi dan kaum Muslimin, karena Nabi asws hanya memerangi orang-orang yang hendak memerangi beliau dan kaum Muslimin. PENDEKNYA AYAT INI UMUM DAN DITAKHSISKAN (dikhususkan) dengan al-Mumtahinah 9, yang artinya: “HANYA Allah MELARANG kamu mengangkat wali dari orang-orang yang memerangi kamu, karena agamamu dan mengusir kamu dari negerimu dan menolong mengusir kamu. Barang siapa yang mengangkat mereka itu, maka mereka orang yang aniaya.”]

sementara itu, Edip Yuksel mengomentari ayat al-Maidah 51-7 sebagai berikut:

[Verse 5:57 provides the characteristics of the people of the book, whom we are instructed not to ally ourselves with. Muslims should not ally themselves with those who insult their values or promote hatred against them. OBVIOUSLY, THIS INSTRUCTION IS IN THE CONTEXT OF RELIGIOUS CONFLICT; NOT IN THE CONTEXT OF SOCIAL, PERSONAL, OR FINANCIAL RELATIONSHIP. There are righteous people among the people of the book (3:113; 3:199: 5:69). Eating their food or marriage with them is permitted (5:5). Verses 5:57 and 60:7-9 are among the verses that provide us with basic principles in dealing with others.] (Huruf besar dari saya, Zul.)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline