Lihat ke Halaman Asli

Kontraproduktif Draft Revisi UU KPK di Tengah Agenda Pemberantasan Korupsi Indonesia

Diperbarui: 22 Februari 2016   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi masyarakat Indonesia, kasus korupsi bukan hal yang asing di telinga. Jeratan korupsi di Indonesia sudah ada sejak era sebelum kemerdekaan, berlanjut hingga era pasca reformasi seperti saat ini. Berbagai cara dilakukan untuk meredam, namun rupanya masih jauh panggang dari api. Upaya pemberantasan korupsi justru semakin rentan. Hal itu dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang terkesan malah melemahkan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), seperti yang terjadi pada Revisi UU KPK yang santer diperbincangkan belakangan ini.

Pembahasan revisi UU KPK di tahun 2016 telah dimulai dalam rapat harmonisasi Badan Legislasi DPR RI pada 1 Februari lalu. Setelah sebelumnya berkembang kabar bahwa akan dijadikan inisiatif DPR RI dalam paripurna 18 Februari 2016, ternyata rapat paripurna tersebut batal karena abstainnya sejumlah pimpinan sidang. Agendanya, paripurna ditunda hingga 23 Februari mendatang.

Ada beberapa hal yang berbeda pada rancangan revisi UU KPK Ferbuari 2016, jika dibandingkan dengan dua draft revisi yang pernah diajukan sebelumnya (tahun 2012 dan tahun 2015). Pasalnya, revisi UU KPK kali ini secara garis besar membawa empat perubahan, yaitu penghentian penyidikan (SP3); rekuitmen penyelidik dan penyidik KPK; pembentukan Dewan Pengawas; dan mekanisme pengaturan penyadapan. Uniknya, dari keempat mekanisme tersebut, kesemuanya disinyalir mampu melemahkan fungsi dan wewenang KPK. Lebih jelasnya, kami akan menjabarkan satu persatu permasalahannya di bawah ini:

Pembatasan Wewenang Penyadapan[1]

Selama ini, banyak kasus korupsi terutama kasus suap dapat terungkap  karena upaya penyadapan yang dilakukan oleh KPK. Sayangnya mekanisme ini pun tak luput dari limitasi dalam pengajuan revisi UU KPK. Dalam draft tersebut, wewenang penyadapan yang dimiliki oleh KPK akan dibatasi karena dianggap melanggar hak orang lain atas kerahasiaan seseorang.

Jika sebelumnya pada Pasal 12 (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa “KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan” tanpa pembatasan apapun, maka dalam rancangan revisi UU KPK ini penyadapan dan perekaman pembicaraan hanya bisa dilakukan apabila:

a.       Penyadapan dilakukan apabila sudah ada bukti permulaan yang cukup

b.      Atas izin tertulis dari Dewan Pengawas

c.       Penyadapan dilakukan paling lama tiga bulan; dan dapat di perpanjang untuk waktu yang sama.

Tiga poin ketentuan penyadapan pada rancangan revisi UU KPK telah mereduksi keleluasaan KPK dalam bertindak. Persyaratan pertama misalnya, adanya syarat “bukti permulaan yang cukup” menunjukkan bahwa penyadapan hanya bisa dilakukan pada tahap penyidikan. Untuk tahap penyelidikan yang mana bertujuan untuk mencari “bukti permulaan yang cukup”, hal ini tidak dapat dilakukan karena bukti-bukti tersebut belum ada. Padahal, penyadapan dan perekaman pembicaraan sangat efektif untuk melakukan operasi tangkap tangan sebagaimana yang selama ini terjadi.

Syarat kedua, yakni adanya izin tertulis dari Dewan Pengawas yang justru kian menghambat efektivitas kinerja KPK itu sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui, penyadapan memerlukan momentum yang tepat untuk merekam pembicaraan dan pemufakatan jahat lainnya. Pelunya izin tertulis ini, dikhawatirkan justru malah memperlambat timeline kerja dari KPK dalam hal penyadapan. Belum lagi adanya kemungkinan bocornya informasi penyadapan, dikarenakan kepentingan-kepentingan politis yang bisa saja terjadi. Lebih jauh lagi, draft revisi UU KPK tidak mengatur mekanisme penyadapan jika yang disadap adalah anggota Dewan Pengawas itu sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline