oleh Sandra Yohanita
Anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa. Berangkat dari pemikiran tersebut, pemenuhan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupan anak harus memperoleh prioritas yang sangat tinggi. Setiap anak memiliki hak yang sama, terlepas dari apapun kondisi mereka. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, apapun agama mereka, apapun suku mereka, mereka berhak untuk mendapatkan hak sepenuhnya sebagai anak. Hak untuk belajar, hak untuk bermain, hak untuk merasa aman, semua anak berhak mendapatkan hak-hak tersebut tanpa terkecuali.
Sayangnya, tak semua anak mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh hak mereka. Banyak anak yang berisiko tinggi untuk tidak tumbuh dan berkembang secara baik karena tidak mendapatkan hak yang semestinya mereka peroleh. Kemiskinan menjadi salah satu penyebab anak-anak tidak mendapatkan hak-hak mereka secara penuh. Salah satu dampak dari kemiskinan adalah eksploitasi anak. Tak jarang, mereka harus mengubur keinginan untuk belajar dan mendapatkan pendidikan yang layak karena mereka harus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga di usianya yang terbilang dini. Di samping faktor kemiskinan, perceraian orang tua dan ketidakmampuan orang tua untuk merawat serta memperhatikan anak juga merupakan penyebab dari terjadinya eksploitasi anak. Apabila kita lihat secara lebih dalam, eksploitasi anak dapat dikatakan sebagai kekerasan terhadap kemanusiaan karena anak-anak dibiarkan untuk bekerja dalam waktu relatif lama dengan pekerjaan yang tetap dan ilegal. Dengan demikian, anak tidak mendapatkan hak-haknya untuk mendapatkan pendidikan di sekolah, perhatian dan kasih sayang dari orang tua, serta tidak mendapatkan jaminan atas rasa aman dan nyaman.
Di beberapa pinggiran jalan, sering kali kita jumpai anak-anak yang dieksploitasi oleh keluarganya sendiri untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya tidak mereka lakukan. Mereka biasa bekerja sebagai pengemis, pengamen, penjual koran, penyemir sepatu, dan masih banyak lagi. Anak-anak tersebut sering kali kita kenal dengan sebutan anak jalanan. Anak-anak jalanan tersebut rata-rata berusia sekitar 12 hingga 18 tahun (Yuniarti, 2012). Penghasilan yang mereka dapatkan dari melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut diberikan kepada orang tua mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Mirisnya, selain diberikan kepada orang tua mereka untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, penghasilan yang mereka peroleh terkadang juga digunakan untuk membeli makanan, rokok, bahkan minuman keras. Hal tersebut tentunya berbahaya bagi anak-anak mengingat usia mereka yang cukup dini dan belum sepatutnya mengonsumsi rokok dan minuman keras.
Eksploitasi anak, baik melalui keluarga mereka sendiri maupun melalui orang lain merupakan bentuk masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Eksploitasi yang dialami oleh anak jalanan memberikan berbagai macam dampak negatif, baik fisik maupun psikis mereka. Secara fisik, eksploitasi mengakibatkan anak-anak jalanan menderita kekurangan gizi. Anak jalanan sering kali mengonsumsi makanan yang kurang bergizi akibat rendahnya kemampuan ekonomi yang mereka miliki. Akibatnya, tubuh mereka menjadi kurus dan rentan terhadap penyakit. Selain itu, mereka sering kali membeli rokok ataupun minuman keras akibat terpengaruh oleh pergaulan di sekitar mereka. Konsumsi rokok dan alkohol yang berlebihan terutama pada masa kanak-kanak tentu membahayakan kesehatan mereka. Ditambah lagi efek
samping minuman keras sering kali membuat mereka bertindak di luar kendali mereka dan menyebabkan kerugian bagi orang lain di sekitarnya.
Selain rentan menderita kekurangan gizi, eksploitasi terhadap anak jalanan juga dapat membuat tubuh mereka rentan terhadap luka. Pekerjaan pengamen dan penjual koran jalanan misalnya, setiap hari para pengamen dan penjual koran tersebut mau tak mau harus bersinggungan dengan kendaraan yang berada di jalanan. Apabila kurang berhati-hati, mereka rentan mengalami luka ringan hingga kecelakaan berat. Ditambah lagi adanya kemungkinan konflik dengan anak jalanan lain yang berpotensi menyebabkan perkelahian dan luka-luka. Kehidupan mereka setiap harinya diliputi oleh rasa khawatir akan keselamatan diri mereka. Eksploitasi anak ini menyebabkan anak-anak kehilangan salah satu hak mereka, yaitu hak untuk merasa aman sebagai anak-anak.
Anak-anak yang dieksploitasi dan bekerja di jalanan tentu tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang layak. Akibatnya, anak-anak tidak dapat membedakan perilaku yang patut untuk dilakukan ataupun tidak. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam perilaku mereka sehari-hari, terutama pada saat mereka bekerja mencari uang di jalanan. Anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen sering kali meminta uang dengan paksa atau mencolek penumpang. Hal tersebut tentunya membuat penumpang merasa takut dan tidak nyaman. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa dampak eksploitasi anak sangatlah luas, tidak hanya berdampak buruk bagi anak-anak tetapi juga berdampak buruk bagi warga sekitar karena dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan warga.
Mengingat dampak eksploitasi anak yang sangat luas, tidak hanya berdampak buruk bagi anak-anak yang bersangkutan tetapi juga berdampak buruk bagi warga di sekitarnya, maka perlu adanya tindakan tegas untuk mengakhiri masalah sosial yang kompleks ini. Sesuai dengan pasal 32 Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak, pemerintah diwajibkan untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi ekonomi dan pekerjaan apa saja yang kemungkinan membahayakan, mengganggu pendidikan anak, berbahaya bagi kesehatan fisik, jiwa, rohani, moral dan perkembangan sosial anak (Sentika, 2003). Namun, hingga saat ini masih banyak anak yang dieksploitasi sebagai pekerja, baik sebagai pengamen, pengemis, penjual koran, maupun pekerjaan lainnya. Anak jalanan merupakan pekerja yang rentan akan perlakuan berbahaya. Anak jalanan sering ditipu oleh orang yang lebih dewasa serta harus bekerja selama berjam-jam untuk mendapatkan penghasilan yang tak seberapa. Selain itu, anak jalanan juga rentan terhadap penganiayaan, penyiksaan, bahkan pemerkosaan.
Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak untuk menghentikan permasalahan sosial ini. Peningkatan kesejahteraan anak jalanan membutuhkan peran serta dari pemerintah karena meskipun sudah ada peraturan yang mengatur mengenai eksploitasi anak jalanan, tetapi tindakan nyata yang dilakukan di lapangan ternyata belum maksimal. Hal ini terbukti dari populasi anak jalanan yang masih hingga saat ini. Perlu ketegasan dari pemerintah untuk merealisasikan peraturan yang berada di atas kertas menjadi tindakan nyata di lapangan. Selain dari pemerintah, masyarakat juga memegang peranan penting dalam menghentikan tindakan eksploitasi anak ini karena kebiasaan masyarakat yang memberikan uang kepada anak jalanan membuat tindakan eksploitasi anak jalanan tetap bertahan hingga saat ini. Selain ketegasan dari pemerintah, diperlukan ketegasan juga dari masyarakat untuk tidak memberikan uang kepada pekerja jalanan anak-anak sehingga mereka tidak sepenuhnya bergantung pada masyarakat. Dengan begitu, orang tua mereka akan menyadari bahwa pekerjaan anak-anak mereka sudah tidak menghasilkan lagi dan tindakan eksploitasi anak perlahan-lahan dapat semakin berkurang. Dengan berkurangnya eksploitasi terhadap anak, maka anak perlahan-lahan akan mendapatkan hak-hak dan kebebasan mereka kembali.
DAFTAR PUSTAKA