Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kepercayaan Bereskalasi Menjadi Ekstremisme

Diperbarui: 28 April 2021   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

Oleh : Adityamaspurbo Nurwahyu Wibowo

“A fanatic is one who can’t change his mind and won’t change the subject”

(Winston Churcill) 

Pendahuluan tentang Fanatisme

Kata fanatik atau fanatisme berasal dari bahasa Latin, yaitu fanatice (kobaran, amukan) dan fanaticus (antusias, gembira luar biasa, fanatik, berapi-api). Secara istilah, fanatisme dapat didefinisikan sebagai kepercayaan atau minat ekstrem (berlebihan) yang dapat menimbulkan perilaku yang tidak masuk akal atau tindak kekerasan. Ada pendapat yang menyatakan bahwa fanatik atau fanatisme merupakan antusias yang berlebihan dan tidak rasional terhadap sesuatu hal yang ada atau sebagai sebuah pengabdian terhadap suatu teori, keyakinan, ataupun tindakan yang menentukan sikap sangat emosional dan praktis tidak mengenal batas-batas (Budi, 2004).

Menurut Goddard (2001) terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi fanatisme, yaitu besarnya minat dan kecintaan pada suatu hal atau jenis kegiatan, sikap personal maupun kelompok terhadap suatu hal atau kegiatan, durasi atau lamanya individu menekuni suatu hal atau jenis kegiatan tertentu, dan motivasi dari lingkungan keluarga yang memiliki pengaruh terhadap suatu hal atau kegiatan yang ditekuninya.

Sejarah Singkat Fanatisme

Bila ditarik benang merah mengenai eksistensi fanatisme, sebenarnya fenomena ini telah muncul di tengah masyarakat pada beberapa waktu abad silam. Salah satu contoh populer mengenai fanatisme yang timbul di masyarakat adalah sikap fanatisme gereja pada Abad Pertengahan di Benua Eropa atau lebih dikenal sebagai Abad Kegelapan (Dark Ages). Sebutan tersebut muncul karena antipati dan sikap skeptis yang ditunjukkan oleh masyarakat Eropa pada saat itu terhadap kebenaran yang diajarkan oleh gereja.

Sumber ketidakpercayaan yang mendalam terhadap ajaran gereja bermuara dari begitu banyaknya korban akibat memegang keyakinan secara membuta (blind devotion) terhadap dogma gereja beserta segenap ajarannya, tanpa dilandasi dengan fakta yang objektif. Gereja Katolik pada masa itu juga terkenal dalam mencegah fakta kebenaran maupun ilmu pengetahuan yang dianggap bertentangan dengan ajaran gereja yang bersumber pada kitab suci. Begitu banyak orang yang dipenjarakan, disiksa bahkan dibunuh karena hal tersebut.

Salah satu ilmuwan yang mendapat tindak persekusi akibat pemikirannya yang dianggap sesat dan bertentangan dengan ajaran gereja pada saat itu adalah Galileo Galilei, seorang ilmuwan penemu teleskop yang mendukung teori Corpenicus mengenai matahari sebagai pusat tata surya (heliosentris) yang mendapat penolakan keras dari pihak gereja. Hal itu disebabkan oleh gereja yang masih mempercayai teori Ptolomeus yang mendapatkan pembenaran dari Alkitab, bahwa bumi sebagai pusat tata surya (geosentris). 

Mirisnya, fanatisme ini masih terus berlanjut hingga pada masa Aufklarung (Abad Pencerahan) pada kisaran Abad XVIII. Hal itu dapat dibuktikan dengan prinsip Absolutisme yang banyak dianut oleh sebagian dari para penguasa di Eropa. Adapun para tokohnya adalah Raja Phillipus II, Louis XVI, Ratu Elizabeth I dari Inggris, dan masih banyak lagi penguasa Eropa lainnya, terutama wilayah Eropa Barat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline