Pendahuluan
Tujuan utama kebijakan sistem PPDB berdasarkan zonasi menurut Pasal 2 Permendikbud No.14 tahun 2018 adalah untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, non-diskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan bahwa sistem zonasi diberlakukan sebagai upaya untuk mempercepat pemerataan kualitas pendidikan.
Dengan memberlakukan kriteria penerimaan berdasarkan jarak antara lokasi tempat tinggal calon peserta didik dan lokasi sekolah, sistem zonasi diharapkan mampu menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan melalui penghapusan status sekolah negeri favorit dan meningkatkan kualitas sekolah di tiap zona yang sudah ditentukan.
Dalam pelaksanaannya, sistem zonasi kerap dihujani ungkapan ketidakpuasan dari orang tua dari calon peserta didik dan juga calon peserta didik tersebut.
Alasannya, asas meritokrasi yang sudah lama diterapkan melalui seleksi peserta didik berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN) menjadi tidak berlaku dan secara implisit, kebijakan sistem zonasi telah menetralisir usaha dan kerja keras calon peserta didik.
Selain itu, dengan mempertimbangkan tingkat ketimpangan multidimensional yang berkontribusi terhadap ketimpangan kualitas pendidikan di Indonesia, sistem zonasi dinilai masih prematur dalam pelaksanaannya. Lantas, apa sajakah dampak sistem zonasi dalam usaha pemerataan kualitas sekolah? Apa sajakah implikasi dari kebijakan tersebut terhadap pembangunan manusia di Indonesia?
Ketimpangan Kualitas Pendidikan : A Multidimension of Madness
Ketimpangan kualitas pendidikan dapat dijelaskan melalui hubungan sebab-akibat antara faktor-faktor sosial dan ekonomi yang terdapat pada masyarakat terhadap hasil akhir dari pendidikan.
Muttaqin (2018) dalam studinya mengemukakan bahwa ketimpangan kualitas dan akses pendidikan bersumber dari perbedaan karakteristik di setiap tingkat masyarakat dan juga dari variasi sumber daya yang diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu ekonomi, manusia, sosial, politik, dan infrastruktur.
Dalam sebuah studi yang dilakukan Hanushek (2007) yang menginvestigasi hubungan antara pencapaian pembelajaran dan faktor-faktor input seperti kualitas dan sumber daya sekolah, karakteristik lingkungan keluarga dan pertemanan, dan status sosial-ekonomi menemukan bahwa meskipun terdapat indikasi inefisiensi dalam pendidikan yang mengakibatkan tidak maksimalnya pencapaian pembelajaran, tidak ditemukan kausalitas yang jelas antara input dan output dalam pendidikan.