September lalu, pemberitaan luar negeri Indonesia kembali diwarnai oleh konflik diplomatik Indonesia dan Vanuatu terkait persoalan HAM di Papua. Hal ini bukan yang pertama kalinya, sudah 5 tahun negara yang terletak di sebelah timur Australia tersebut konsisten menyoroti dan menyampaikan keprihatinannya terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua.
Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-75 tahun 2020, Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman dalam pidatonya menyebutkan bahwa hingga kini masyarakat Papua Barat masih menderita akibat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Vanuatu menganggap belum ada kemajuan yang berarti dalam hal penuntasan kasus-kasus HAM di Papua. Oleh karena itu, Ia meminta pemerintah Indonesia untuk menyetujui permintaan para pemimpin negara-negara Pasifik untuk membuka ruang bagi Komisaris Tinggi HAM PBB melakukan kunjungan untuk mengonfirmasi benar-tidaknya isu-isu pelanggaran kemanusiaan di Papua Barat (Mardiyah, 2020).
"Di wilayah kami (pasifik), Papua Barat terus menderita karena pelanggaran HAM. Tahun lalu, para pemimpin Forum Kepulauan Pasifik menyerukan dengan hormat kepada pemerintah Indonesia, untuk mengizinkan perwakilan HAM PBB untuk mengunjungi Papua Barat," ujar Loughman dalam pidatonya, dilansir wartaekonomi.
Atas pernyataan tersebut, Indonesia langsung menggunakan hak jawabnya melalui tanggapan perwakilan delegasi Indonesia, Silvany Austin Pasaribu.
Tidak jauh berbeda dari format jawaban Diplomat Indonesia tahun-tahun sebelumnya, alih-alih mengklarifikasi isu dan menjelaskan kepada dunia internasional mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus-kasus HAM di Papua, Silvany justru membalas dengan sangkalan dan serangan balik yang agresif terhadap Vanuatu.
Lantaran pembahasaannya yang tajam, pernyataan Silvany pun (entah mengapa) ramai diapresiasi oleh media-media arus utama di Indonesia. Dalam pernyataannya, Silvany mengatakan bahwa tindakan Vanuatu merupakan langkah tidak berdasar dan manipulatif yang meromantisasi gerakan separatis dengan bungkus kepedulian terhadap Hak Asasi Manusia (Mardiyah, 2020).
"sangat memalukan, suatu negara terus memiliki obsesi tidak sehat yang berlebihan tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak atau memerintah," ujar Silviany. "Simpan khotbahmu itu untuk dirimu sendiri... Anda bukanlah representasi dari orang Papua, dan berhentilah berfantasi untuk menjadi salah satunya." tegas Silvany Austin Pasaribu, dalam video yang diunggah oleh PBB dalam kanal resmi Youtubenya.
Silvany juga menambahkan bahwasanya Vanuatu melanggar salah satu prinsip koeksistensi perdamaian PBB, yakni non-interference dengan tidak menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah negara Indonesia. Ia meminta agar Vanuatu mengurus tanggung jawab negaranya sendiri sebelum ikut campur dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Sementara itu beberapa lembaga pegiat HAM dalam negeri seperti Amnesty International Indonesia dan KontraS menyayangkan pernyataan balasan perwakilan RI tersebut karena tidak substansial dan kurang pantas dari segi bahasa. Dalam siaran persnya (30/09/2020), Amnesty menyebutkan bahwa Indonesia tidak seharusnya resisten dalam menanggapi pernyataan kritis dari negara lain.
Jika memang berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM, seharusnya Indonesia merespon Vanuatu menyampaikan realisasi-realisasi komitmen pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua.