Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi tidak dapat dipungkiri merupakan sebuah komponen yang fundamental terhadap perkembangan suatu bangsa. Percepatan laju informasi telah meruntuhkan tantangan-tantangan yang dulu merupakan masalah besar, salah satunya adalah waktu.
Namun, seperti pada umumnya setiap hal di dunia, terdapat juga hal negatif yang muncul dari cepatnya perkembangan teknologi informasi. Potensi kejahatan berbasis teknologi juga muncul seiring berkembangnya teknologi informasi.
Oleh karena itu Pemerintah menciptakan sebuah undang-undang yang secara khusus dibuat untuk menjamin keamanan bagi pengguna teknologi informasi serta menciptakan standar yang jelas mengenai praktik penggunaan teknologi informasi yang dilarang (BPHN, 2015).
Namun dalam penerapannya, Undang-Undang ini seringkali digunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat dari seseorang. Padahal, kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia dilindungi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi, "Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara".
Meskipun demikian, perlu diakui memang kebebasan berpendapat di Indonesia bukan merupakan kebebasan berpendapat absolut melainkan kebebasan berpendapat yang harus dapat dipertanggungjawabkan di mata hukum. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945),
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, Nilai - nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis".
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat dipahami bahwa kebebasan berpendapat yang dikenal di Indonesia merupakan kebebasan berpendapat yang tetap tunduk kepada gebod (perintah) dan verbod (larangan) yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Mengenai kebebasan berpendapat, terdapat dua peraturan perundang-undangan yang menjadi pembatas bagi hak tersebut. Pertama adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).
Dalam UU ITE, terdapat dua pasal yang secara khusus mengatur mengenai pembatasan terhadap hak kebebasan berpendapat yaitu pada Pasal 27 dan Pasal 28. Kedua pasal tersebut membatasi secara khusus isi atau muatan dari informasi atau dokumen elektronik yang diunggah.
Sedangkan dalam KUHP, terdapat beberapa pasal yang secara khusus membatasi kebebasan berpendapat seseorang seperti pada Pasal 310 KUHP yang mengatur tentang larangan penistaan yang dilakukan dengan surat, Pasal 311 KUHP yang melarang dilakukannya fitnah, Pasal 315 KUHP yang mengatur tentang penghinaan ringan, Pasal 317 KUHP yang mengatur tentang pengaduan fitnah, Pasal 318 KUHP yang mengatur tentang perbuatan fitnah serta Pasal 156 KUHP yang mengatur tentang larangan terhadap ujaran kebencian.
Keberadaan pasal-pasal di atas semula bertujuan agar terdapat kepastian hukum yang menjamin bahwa kebebasan berpendapat seluruh warga negara tetap dapat dijalankan tanpa mencederai hak warga negara lainnya (BPHN, 2015).