"Arise, you mighty motherland. Arise for Sacred War. To crush the evil fascist hordes. Unite and drive them back! And noble anger leads us to victory against the fascist scum. Arise, our mighty land. Arise for Sacred War!" [Terjemahan Bahasa Inggris dari bait pertama lagu "The Sacred War" (Rusia: Svyashchennaya Voyna) karya komponis Rusia, Aleksandr Aleksandrov]
Pandemi COVID-19 yang tengah melanda seluruh dunia mengubah banyak hal, salah satunya adalah ditundanya Parade Hari Kemenangan di Rusia yang biasanya diadakan tanggal 9 Mei setiap tahun oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin (BBC, 2020).
Namun hal itu tidak menutup fakta bahwa 75 tahun yang lalu, dunia merayakan kemenangan demokrasi yang diwakili Blok Sekutu seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis dan Uni Soviet (sekarang Rusia) dalam Perang Dunia II di wilayah Eropa atas kekuatan fasisme berupa Blok Poros yang dikomandoi oleh Nazi Jerman.
Teror fasisme telah berakhir dengan menyerahnya Nazi Jerman pada tanggal 7 Mei 1945, dimana hal itu dirayakan melalui Hari Kemenangan di Eropa Barat (8 Mei) serta di Rusia dan negara bekas Uni Soviet (9 Mei). Menjadi pertanyaan bagi kita semua, mengapa ideologi fasisme bisa begitu menakutkan dan apakah fasisme telah hilang selama-lamanya?
Sebelum berbicara mengenai kengerian ideologi fasisme, terlebih dahulu kita perlu mengetahui tentang fasisme itu sendiri. Fasisme merupakan bentuk politik sayap kanan yang otoriter dimana ideologi tersebut pertama kali muncul dan berkuasa di Italia melalui Partai Fasis yang dipimpin Benito Mussolini sebelum menyebar ke negara-negara Eropa lainnya, termasuk ke Jerman melalui Partai Nazi dengan pemimpin Adolf Hitler (Davies dan Lynch, 2020).
Kaum fasis percaya bahwa demokrasi liberal sudah ketinggalan zaman sehingga perlu adanya pemerintahan di bawah negara satu partai secara totaliter yang diperlukan untuk mempersiapkan negara dalam menghadapi konflik bersenjata dan kesulitan ekonomi (Horne, 2002). Fasisme menolak klaim bahwa kekerasan pada dasarnya bersifat negatif dan memandang kekerasan politik, perang, dan imperialisme sebagai cara untuk mencapai kejayaan nasional (Payne, 1995).
Akar ideologi fasisme sendiri dapat dilacak hingga tahun 1880-an, dimana menurut sejarawan Zeev Sternheln, muncul kelompok fin de siecle (end of the century/akhir abad ini) di Prancis sebagai pemberontakan terhadap rasionalitas dan demokrasi (Sternhell, 1998).
Kelompok ini dipengaruhi oleh ajaran Nietzche mengenai konsep keinginan mayoritas untuk berkuasa sebagai naluri alamiah setiap manusia (Payne, 1995). Ideologi ini semakin berkembang setelah Perang Dunia I (1914-1919), khususnya di Italia ketika Mussolini dan Partai Fasis-nya mengambil alih kekuasaan atas seluruh Italia melalui gerakan March on Rome pada bulan Oktober 1922.
Adanya The Great Depression saat terjadi resesi ekonomi berkepanjangan yang melanda seluruh dunia pada tahun 1930-an juga berkontribusi pada menyebarnya ideologi fasisme ini, terutama yang terjadi di Jerman pada tahun 1932, di mana Adolf Hitler dengan Partai Nazi pimpinannya berhasil mengambil alih kekuasaan atas seluruh Jerman melalui pengangkatan Adolf Hitler sebagai Pemimpin Tertinggi (Fuhrer).
Sesuai sifat ideologinya yang otoriter, fasisme merupakan ideologi yang anti demokrasi dan mendukung munculnya diktator seperti Benito Mussolini dan Adolf Hitler (Griffin, 1991).
Efek dari fasisme sendiri sungguh mengerikan. Ideologi fasisme menjadi dasar bagi diskriminasi ras dan pembantaian etnis tertentu atas dasar kebencian rasial, terutama dalam hal ini adalah pembantaian etnis Yahudi (Holocaust) yang terjadi di wilayah Jerman dan Italia. Ideologi fasisme juga yang pada akhirnya menyeret seluruh dunia dalam Perang Dunia II dengan skala kerusakan yang lebih besar dibandingkan Perang Dunia I.