Lihat ke Halaman Asli

Climate Justice: Siapa yang Bertindak, Siapa yang Menanggung?

Diperbarui: 31 Maret 2024   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Penulis : Maxwell Jeremiah Ferdianto


Apa itu Climate Justice?
Climate change, sebuah fenomena yang kian hari kian terlihat gejala dan dampaknya bagi kehidupan kita sehari-hari. Dilansir dari Copernicus EU, pada bulan Juni hingga Agustus 2023, suhu permukaan air dan udara global memecahkan rekor suhu tertinggi sepanjang masa [1]. Hingga Februari 2024, Copernicus EU juga telah memastikan bahwa pemanasan global telah menembus ambang batas 1,5 derajat celcius-- yang telah disepakati dan diperjuangkan oleh dunia global melalui Paris Agreement--selama 12 bulan penuh [2]. Berbagai lembaga berpendapat bahwa kondisi ini bukanlah sebuah one-time event, melainkan diproyeksikan bahwa peningkatan suhu global akan konstan naik hingga mencapai peningkatan sebesar 3,2 derajat celcius pada akhir abad ini [3]. Dengan kata lain, suhu bumi tidak sedang dalam keadaan yang ideal dan kondisinya akan terus kian memburuk tanpa adanya intervensi segera. 

Di tengah kondisi gejala perubahan iklim yang sedang membludak, mulai muncul sebuah isu yang mengangkat ketidakadilan dari dampak serta upaya yang dilakukan untuk menanggulangi perubahan iklim. Hal ini disebut sebagai climate justice, sebuah pendekatan dalam krisis iklim yang menyorot suara-suara kaum rentan. Kaum rentan disini adalah mereka yang lebih rentan untuk terpengaruh hidupnya oleh dampak buruk dari krisis iklim dibanding orang-orang lain. Climate Justice dilandaskan pada sebuah fakta umum bahwa orang-orang yang bertanggung jawab paling sedikit dari krisis iklim seringkali terdampak konsekuensi tertinggi dari krisis iklim [4, 5]. Berdasarkan penyebabnya, orang-orang rentan dapat digolongkan berdasarkan sumber kerentanannya, yaitu kerentanan geografis dan kerentanan sosial-ekonomi.

Kerentanan Geografis

Kerentanan geografis mengacu kepada bagaimana penduduk di wilayah dan kondisi geografis yang berbeda memiliki tingkat keparahan efek krisis iklim yang berbeda pula. Dilansir dari Climate Change Vulnerability Index oleh Maplecroft yang mencantumkan 32 negara teratas yang memiliki resiko terekstrim dari perubahan iklim, 10 teratas merupakan negara tropis, yakni Bangladesh, Sierra Leone, Sudan Selatan, Nigeria, Chad, Haiti, Ethiopia, Filipina, Republik Afrika Tengah, dan Eritrea [6]. 

Kondisi musim panas di negara-negara tropis tersebut kian memanas hingga menyebabkan sejumlah bencana yang merugikan penduduk setempat. Sebagai contoh, fenomena heatwave atau peningkatan suhu udara signifikan di Uttar Pradesh, India telah mengakibatkan kematian 96 penduduk akibat kondisi penyakit yang diperburuk oleh suhu panas [7]. Studi lain menunjukkan bahwa setidaknya satu petani meninggal akibat bunuh diri di India setiap jam pada tahun 2022. Kondisi ini diduga berkaitan erat dengan cuaca ekstrem yang berkaitan dengan perubahan iklim, menyebabkan tingginya angka gagal panen di wilayah tersebut [8]. Fenomena lainnya adalah peningkatan frekuensi terjadinya peristiwa El Nino, yang menurut WHO, berkontribusi meningkatkan populasi nyamuk. Hal ini berpotensi menumbuhkan kembali epidemi malaria dan dengue. Suhu yang meningkat juga dapat menyebarkan epidemi malaria dan dengue ke wilayah-wilayah dataran tinggi seperti Debre Zeit, Ethiopia tengah, yang selama ini cenderung terbebas dari penyakit-penyakit transmisi nyamuk [6]

Di sisi lain, ketika kita bandingkan dengan negara-negara penghasil emisi karbon kumulatif tertinggi, 8 dari 10 negara penghasil emisi karbon tertinggi merupakan negara-negara subtropis hingga nontropis [9]. 

Kerentanan Sosial-Ekonomi

Kerentanan sosial-ekonomi mengacu pada bagaimana penduduk dengan golongan sosial dan status ekonomi yang berbeda memiliki tingkat keparahan efek krisis iklim yang berbeda pula. Masih dengan data yang sama dari Climate Change Vulnerability Index, 30 dari 32 negara pada daftar tersebut termasuk pada daftar 48 negara termiskin dari PBB [6]. Sedangkan dari 10 negara-negara penghasil emisi karbon kumulatif tertinggi, 8 dari 10 diantaranya tergolong sebagai negara berpenghasilan menengah atas hingga tinggi. 

Hubungan antara status sosial-ekonomi dengan dampak dari perubahan iklim berkaitan dengan kemampuan adaptasi. Penduduk dengan penghasilan rendah memiliki keterbatasan kapabilitas dan fasilitas untuk dapat beradaptasi dari berbagai bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. 

Kesimpulan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline