Asosiasi Tembakau Minta DPR Tinjau Ulang RUU Kesehatan; Narkotika dan Tembakau Diatur Terpisah
Oleh: Staff Departemen Kastrad BEM KM FK Unjani ( Nuril Churiyatin Nafisah Anam )
Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) bersama Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) menuntut Panitia Kerja (Panja) Komisi Hukum Kesehatan DPR RI mengkaji ketentuan tembakau dalam RUU kesehatan agar tidak mendiskriminasi Industri Hasil Tembakau (IHT).
"Kami menyampaikan pada Bapak Ketua Panja agar berkenan menimbang sejumlah masukan dari industri terhadap beberapa pasal yang dinilai tidak memiliki landasan hukum yang kuat dan rawan terhadap konflik kepentingan. Hingga saat ini, belum ada alternatif yang dapat menyerap tenaga kerja sebesar ini" Ungkap Ketua Gaprindo Benny Wachjudi, pada keterangan tertulisnya ( 11/06/2023 ).
IHT merupakan sektor padat penduduk yang menyerap kurang lebih enam juta tenaga kerja dari petani dan buruh pabrik, juga pengusaha kecil dan menengah. Selain itu, ini adalah salah satu pemodal terpenting perekonomian negara di bidang produksi dan pajak. Data ini didapatkan berdasarkan Kementrian Perindustrian ( Kemenperin ) dan Kementerian Keuangan ( Kemenkeu ).
Menurut Benny, tidak ada dasar hukum yang kuat untuk klasifikasi produk tembakau ini, dan dalam pasal tembakau ini, Departemen Kesehatan juga berwenang mengatur standarisasi kemasan produk tembakau, sehingga terjadi tumpang tindih antar departemen. "Itu karena aturan tentang jumlah isi dan kemasan diatur dengan surat keputusan Menteri Keuangan terkait UU Cukai,"
Anggota Komis IX DPR RI Yahya Zaini juga mengusulkan adanya aturan terpisah untuk zat narkotika dan tembakau, termasuk terhadap rokok elektronik sebagai salah satu produk turunannya. " Memang di dalam RUU disebutkan hasil produk turunan dari tembakau adalah rokok elektrik, dikategorikan sebagai bahan bahaya. Nanti akan kita pisah secara lebih rinci. Kalau induknya produk tembakau dihilangkan dari RUU, rokok elektrik kan ikut. Memang pengaturannya harus berbeda, karena resikonya lebih kecil" Ujar Yahya pada keterangan tertulisnya ( 11/06/203 ).
Dikatakannya, pembahasan proyek hukum kesehatan di Panitia Kerja (Panja) Komisi IX yang menangani hukum kesehatan belum mencapai Pasal 154-158 tentang tembakau. Namun, penolakan tersebut terjadi terutama terkait dengan Pasal 154, dimana tembakau disamakan dengan alkohol, narkoba, dan psikotropika. "Saya pribadi tidak setuju jika tembakau disamakan dengan narkoba karena adiksi itu berbeda. Narkoba adalah produk ilegal. Tembakau itu halal dan legal,"
Politikus Partai Golkar itu juga menjelaskan, kontribusi tembakau pada perekonomian negara terbilang signifikan. Setidaknya, kata dia, nilainya sudah lebih dari Rp 200 triliun pada 2022 melalui cukai rokok saja. Angka tersebut diharapkan akan terus naik. "Itu cukainya dan diharapkan naik terus itu, sedangkan pekerja yang terlibat dalam industri rokok itu 6 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung. Jadi posisi tembakau sangat berbeda. Sumbangsihnya kepada negara sangat besar," jelas beliau.