KARYA#4 Publikasi Esai Mahasiswa FISIP UPN Veteran Jakarta
Penulis: Alief Azmi dan Nadine Aulia Bilqish
Program Studi Hubungan Internasional Angkatan 2022
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.". Pasal tersebut memberikan mandat dan tanggung jawab secara yuridis kepada pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat atas kesejahteraan hidup dan mendapatkan lingkungan yan baik, sejahtera serta sehat. Berdasarkan pasal 163 ayat (3) tahun 2009, terdapat sebelas indikator agar sebuah lingkungan dapat dikatakan sehat, yaitu terbebas dari beberapa unsur yang berindikasi menimbulkan gangguan kesehatan seperti limbah gas, limbah cair, limbah padat, sampah ilegal yang tidak diproses sesuai aturan yang telah ditetapkan pemerintah, zat kimia berbahaya, binatang pembawa penyakit, radiasi sinar pengion dan non pengion, kebisingan yang tidak terkendali dan telah melebihi ambang batas, air yang tercemar, makanan yang terkontaminasi, dan udara yang tercemar.
Di zaman modern ini, pertumbuhan manusia akan selalu diikuti dengan perkembangan pada sektor lain seperti teknologi, ekonomi, politik dan lainnya. Suatu perkembangan akan menuju baik jika diikuti dengan hal positif dan akan menuju buruk jika diikuti dengan hal negatif. Perkembangan teknologi dan pertumbuhan industrialisasi yang ditandai dengan banyaknya pabrik industri, pembangkit listrik, dan juga kendaraan bermotor, merupakan contoh dari perkembangan positif yang ternyata juga dapat berubah menjadi perkembangan negatif, karena dari perkembangan tersebut dihasilkan zat polutan yang setiap harinya mencemarkan udara dan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Isu terkait polusi udara menjadi salah satu tantangan yang dihadapi hampir seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Polusi tersebut terjadi karena aktivitas manusia yang secara tidak langsung menjadi penyumbang polusi melalui penggunaan kendaraan pribadi yang berlebihan, pabrik-pabrik industri yang tidak mematuhi aturan terkait limbah, dan aktivitas pertambangan seperti minyak bumi dan batu bara secara berlebihan yang lebih terlihat seperti eksploitasi alam.
Batu bara menjadi salah satu sumber energi yang banyak dimanfaatkan di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga akhir tahun 2020 tercatat bahwa total sumber daya batu bara Indonesia mencapai 143,43 miliar ton, dan total cadangan batu bara sebanyak 38,80 miliar ton. Selain itu, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mengatakan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara menghasilkan 43.183,53 MW untuk Indonesia di tahun 2020. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa penerapan sumber daya PLTU batu bara di Indonesia masih dominan jika dibandingkan dengan pemanfaatan energi alternatif lainnya. Pemanfaatan PLTU batu bara yang dijadikan tumpuan oleh pemerintah Indonesia dalam menyediakan listrik di Indonesia terjadi bukan tanpa alasan. Harganya yang terjangkau serta ketersediaan bahan baku yang melimpah membuat PLTU batu bara menjadi pilihan favorit masyarakat. Kehadiran PLTU baru bara juga tak jarang membantu menyerap tenaga kerja di wilayah sekitar pembangunannya (Yudistira, M. I., & Rofii, M. S. 2023)
Tak banyak yang menyadari, di balik segelintir manfaat dan kemudahan yang ditawarkan, PLTU batu bara merupakan pembunuh tanpa suara karena polusi udara yang dihasilkannya. Selain menghasilkan panas listrik pada proses pembakarannya, PLTU batu bara juga menghasilkan zat pencemar yang berbahaya untuk lingkungan dan kesehatan seperti CO, NOx, SOx, dan partikel halus dalam bentuk abu sisa pembakaran atau kerap disebut fly ash yang dikeluarkan melalui cerobong asap dan sampai ke masyarakat melalui hembusan angin. (Sabubu, T. A. W. 2020). Salah satu emisi yang dihasilkan PLTU batu bara adalah PM2.5 yang mampu masuk ke aliran darah dan menyebabkan infeksi pernapasan akut, asma, serta penyakit pernapasan lainnya. Masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU batu bara memiliki resiko yang sangat tinggi, karena mudah terserang berbagai penyakit khususnya pernapasan. Lebih parahnya, penyakit yang ditimbulkan merupakan penyakit ganas dan menelan biaya yang cukup besar dalam proses pengobatannya, seperti penyakit paru-paru, jantung, stroke, hingga penyakit kanker. Menurut data BPJS Kesehatan, dalam kurun waktu 2018-2022, anggaran yang telah dikucurkan untuk pengobatan penyakit respirasi mencapai angka yang signifikan dan memiliki kecenderungan peningkatan tiap tahunnya. Pneumonia menelan biaya sebesar Rp.8,7 triliun, tuberkulosis Rp.5,2 triliun, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Rp.1,8 triliun, asma Rp.1,4 triliun, dan kanker paru Rp.766 miliar.
PLTU batu bara memiliki berbagai dampak negatif yang bertentangan dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang jaminan pemerintah mengenai lingkungan yang sehat dan tanpa memiliki resiko buruk pada kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi tingginya Peralihan dari energi batu bara menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT) perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi solusi dari permasalahan tersebut karena dapat mengurangi pencemaran udara beserta kerusakan lingkungan. Batu bara merupakan salah satu energi yang tidak bisa diperbarui dan dapat habis, dimana dalam usaha untuk memperolehnya terdapat indikasi eksploitasi terhadap
lingkungan. Hal ini berbeda dengan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang bersumber dari alam, dapat diperbarui, dan tidak dapat habis. Indonesia merupakan negeri dengan berjuta kekayaan alam yang memiliki potensi besar terhadap penggunaan serta pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT). Energi Baru Terbarukan (EBT) dapat berasal dari air dengan cara memanfaatkan kondisi topografi Indonesia yang memiliki banyak perbukitan, danau, dan waduk. Selain memanfaatkan penggunaan air, Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa mendapatkan keuntungan dengan intensitas sinar matahari yang cukup banyak sekitar 4.8 kWh/m2. per-hari. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk menciptakan energi surya melalui radiasi sinar matahari yang dihasilkan. Tidak hanya air dan sinar matahari, terdapat juga energi yang berawal dari tumbuhan seperti Biodiesel yang berawal dari tanaman sawit, serta Biogas yang berawal dari vegetasi hutan tropika, dan energi-energi lainnya (Lubis, A. 2007).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah guna mengurangi penggunaan energi batu bara dengan melakukan peralihan ke penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti pembuatan peraturan, UU, dan regulasi pendukung tidak sepenuhnya berhasil dalam mengurangi penggunaan batu bara, masih terdapat tantangan dalam merealisasikan penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) secara keseluruhan. Tantangan tersebut dapat berupa kebijakan mengenai Energi Baru Terbarukan (EBT) yang terus berubah terkait perizinan, penyediaan lahan dan infrastruktur pendukung, hal ini menyebabkan para investor ragu dan urung untuk melakukan investasi pada Energi Baru Terbarukan (EBT). Selanjutnya, dana yang dibutuhkan sangat besar, mengingat Energi Baru Terbarukan (EBT) akan menggantikan seluruh PLTU batu bara dimana terdapat biaya pengembangan yang saat ini masih mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja negara sehingga sangat terbatas (Republika, 2023). Tidak hanya itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya perubahan energi batu bara ke Energi Baru Terbarukan (EBT) yang masih rendah menjadi tantangan terbesar bagi pemerintah, karena masyarakat memiliki peran penting sebagai konsumen dari energi yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Harga jual energi batu bara yang lebih murah dibandingkan Energi Baru Terbarukan (EBT) membuat masyarakat cenderung memilih untuk menggunakan energi batu bara.