Lihat ke Halaman Asli

Kasmir Nema

Keberagaman adalah anugerah.

The Eyes of Darkness: Sebuah Review (1)

Diperbarui: 14 April 2020   13:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.amazon.com

Novel ini ditulis oleh Dean Koontz, berkebangsaan Amerika, dan diluncurkan pertama kali pada tahun 1981. Dilengkapi dengan epilog penulis yang membedakannya dengan edisi pertama, edisi kedua novel ini dirilis pada tahun 1989. Secara keseluruhan novel ini memiliki empat puluh bab dan dikategorikan dalam aliran Thriller. 

Belakangan novel yang dinominasikan Best Selling oleh New York Times ini booming karena banyak orang berpendapat bahwa ia telah memprediksikan kemunculan pandemi Covid-19 yang saat ini melanda semesta.  

Tuduhan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Ada porsi kecil di dalam novel Koontz yang memang membahas sebuah virus mematikan yang disebut dengan WUHAN-400 (Bab 39). 

Novel menuturkan bahwa virus itu berasal dari sebuah kebocoran pada Laboratorium Senjata Biologis dan Kimia yang  berlokasi di salah satu pegunungan di Amerika Serikat. 

Bocoran itu kemudian secara tidak sengaja mengenai seorang peneliti, Li Chen, berkebangsaan Tiongkok.  Dikisahkan bahwa peneliti inilah yang 'menyebarkan' virus tersebut kepada orang lain (hal 183). Meskipun kode virusnya berbeda, ada kesamaan di antara keduanya,  yaitu, kata WUHAN, sebagai bagian dari nama virus dalam novel dan sebagai tempat penyebaran pertama Covid-19 saat ini. Apakah ini kebetulan belaka? Entahlah!!

Terlepas dari semua 'kontroversi' tersebut, novel ini merangsang pikiran untuk berpetualang dan mengeksplorasi horison imajinasi pembaca tentang banyak hal. Hadir dengan mengkombinasikan topik-topik kontradiktif antara kehidupan dan kematian, kehilangan dan pertemuan, persatuan dan perceraian, kerinduan dan kebencian. 

Pembahasannya pun menyusuri gelanggang perjudian, musik, pertunjukan, mafia, konspirasi, intelijen, pembunuhan, pengorbanan, telekinesis, percintaan, kasih sayang, cinta tak terbatas dan masih banyak lagi. Disajikan dalam konstruksi alur pemikiran yang kompleks, terkadang seram dan menakutkan, namun narasi yang ditawarkan masuk di akal dan enak dibaca.

Ulasan ini tidak sedang menjustifikasi isi novel dengan kemunculan pandemi Covid-19 saat ini. Yang hendak ditawarkan di sini adalah uraian beberapa tema, yang hemat penulis, mungkin mengandung aspek-aspek epistemologis, pedagogis dan humanis. Barangkali aspek-aspek itulah yang ingin disampaikan penulis novel ini kepada pembacanya.

Kehilangan adalah Kemanusian Kita 

Novel ini dibuka dengan cerita kematian (kehilangan). Tetapi harus digaris bawahi bahwa kisah tersebut 'bermetamorfosis' di penghujung novel. Kisah kehilangan tersebut diurai pada bab-bab awal novel. Penulis mendeskripsikan secara detail racauan pergulatan batin seorang ibu, Tina Evans,  yang mengalami kehilangan putranya semata wayang, Danny (bab 1-8). Dikisahkan bahwa Danny meninggal dunia bersama dengan teman-temannya dalam sebuah kecelakaan bus di acara kemping pramuka.

Sebagai manusia, Tina sepenuhnya menyadari bahwa perjalanan hidup manusia akan selalu berakhir dengan kematian, entah dengan cara apapun juga. Tetapi, ada yang janggal dengan kematian Danny, putra tersayangnya. Kejanggalan itu berpuncak pada kenyataan bahwa ia tidak pernah melihat dengan matanya sendiri jasad anaknya. Yang ditatapnya adalah sebuah keranda jenazah, tempat dimana jasad orang mati dibungkus atau ditutup. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline