Lihat ke Halaman Asli

kasmadi rais

guru/wakil kepala sekolah bidang akademik

Balada Asyani: Nenek Pencuri Jati

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14261263721477476466

Gatal juga jemari saya untuk tidak menuangkan kekesalan, kecemasan dan keprihatinan atas peristiwa "memalukan" dan mencoreng-moreng dunia hukum, mengiris-ngiris ulu hati. Akhir-akhir ini terlalu banyak tontonan yang tidak bisa menjadi tuntunan. Tidak layak tayang untuk menjadi hiburan sekalipun. Kemana proses pendidikan yang mereka lalui selama lebih dari satu dasawarsa? Guru lagi yang harus ditumpahsalahkan atas carut marutnya peristiwa konyol ini? Guru lagi yang tidak bisa mendidik mereka? Saya hanya bisa bilang "disitu saya merasa sedih, aku mah apah atuh!".


Persoalan hukum biarlah berjalan, semoga kebenaran dapat ditegakkan seadil-adilnya. Kebenaran memang harus diperjuangkan sepahit apapun, termasuk yang sedang dialami oleh nenek Asyani. Hal ini menunjukkan bahwa dimata hukum formal kedudukan masyarakat sama (baca : seharusnya).

Menyoal hukum maka tak lepas dari sosialisasi kepada masyarakat. Menyasar sosialisasi inilah yang seringkali terabaikan, apalagi kepada masyarakat yang awam hukum, termasuk saya meskipun guru tetapi soal hukum belum tentu, bahkan tidak mengerti. Tak heran jika terjadi kasus remeh menjadi besar seperti kasus guru yang mencubit siswanya samapi diproses ke ranah hukum. Guru zaman sekarang yang serba terbuka harus pandai-pandai menjaga emosi agar tidak terjadi seperti kasus di Serang.

Cukuplah sudah berhenti pada kasus nenek Asyani! Bila benar nenek Asyani menebang pohon jati yang berada dipekarangannya sebagai kasus hukum yang sebenarnya tidak pelu terjadi jika, pertama sosialisasi kepada masyarakat awam hukum intensif dilakukan baik oleh pemerintah sebagai produsen yang mengeluarkan undang-undang bersama dewan. Kedua, pihak berwenang (misalnya PT. Perkebunan) tidak serta merta menuduh tanpa menyusuri terlebih dahulu, sebab bisa jadi fitnah. Artinya tidak mendahulukan kekuasaan ketimbang pendekatan sosial dan budaya.

Pemerintah pusat maupun daerah bisa bekerja sama dengan dunia pendidikan (pastinya melibatkan guru) untuk mensosialisasikan produk hukumnya sehingga masyarakat menjadi melek hukum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline