Lihat ke Halaman Asli

MArifin Pelawi

Mahasiswa S3

Disrupsi Pendidikan Formal

Diperbarui: 31 Desember 2017   18:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai pelajar yang meneliti pendidikan dari sisi pendanaan maka tulisan ini mungkin memiliki kelemahan dari sisi teori pendidikan. Pendanaan berbicara tentang teori anggaran dan institusi secara keseluruhan. Secara institusi tidak ada yang bisa membantah bahwa pendidikan di Indonesia dalam keadaan darurat. Biaya yang dikeluarkan relatif besar berdasar persentase atas GDP namun secara hasil sangat tidak seimbang. Keadaan yang sangat berbahaya karena bonus demografi kita bisa menjadi ancaman bukan advantage.

Negeri kita akan mendapat bonus demografi karena jumlah penduduk muda yang produktif lebih besar dari jumlah mereka dengan usia yang tidak produktif. Namun, dibalik potensi tersebut terdapat ancaman terutama bagi dunia pendidikan. Ketika masa bonus demografi habis maka akan memasuki masa dimana yang yang tidak produktif akan lebih banyak dari yang produktif. Masa yang dialami oleh negara di Eropa dan Jepang serta tidak lama lagi Korea Selatan dan China

Masa yang akan sangat berat jika Indonesia tidak memiliki tabungan mencukupi untuk menanggung beban itu. Ketika jumlah orang yang tidak produktif tinggi maka negara harus menanggung mereka. Dana pensiun yang cukup besar harus disiapkan. Jika pada masa produktif tidak memiliki human capital yang baik maka akan banyak bangsa Indonesia yang akan terlantar dan menjadi beban yang berat bagi perekonomian karena kelebihan pendapatan tidak banyak yang bisa ditabung. Selain itu dana publik untuk kesehatan akan membengkak sehingga dana buat pendidikan pasti harus berkurang karena secara politis kalah populer. Secara politis ini akan terajdi karena banyaknya manula akan meminta lebih besar porsi kepada mereka. Keadaan yang terjadi saat ini di negara Eropa dan juga Jepang. Kekuatan politis para manula karena jumlah yang besar dan pengaruh yang lebih besar akan memaksa negara untuk memindahkan dana pendidikan menuju kesehatan. Tekanan yang terjadi membuat banyak negara di Eropa untuk lebih memberikan kekuasan kepada swasta dan atau menswastakan sekolah negeri mereka demi mengurangi pengeluaran di pendidikan.

Saat ini dunia pendidikan di Indonesia tidak memiliki tekanan untuk mengurangi dananya. Jumlah masyarakat muda masih cukup besar dibandingkan orang tua. Namun, dana pendidikan yang besar itu tidak membuat pendidikan Indonesia menjadi lebih baik. Nilai yang kita peroleh dari hasil tes perbandingan internasional PISA secara konstan memasukkan Indonesia dalam 10 besar negara terbodoh yang dinilai oleh OECD.

Pemerintah berusaha memperbaiki dengan banyak cara. Cara yang paling populer yaitu ganti kurikulum. Penggantian kurikulum adalah cara yang selalu diandalkan untuk percobaan memperbaiki pendidikan kita. Cara lain yang digunakan adalah memperbaiki kualitas guru dengan menambah banyak training dan pelatihan, mewajibkan gelar minimal sarjana dan remunerasi berupa tunjangan yang besar. Dan tentu saja yang paling kontroversial adalah penyelenggaraan Ujian Nasional.

Seluruh cara itu tidak memberikan efek perbaikan. Tindakan yang sebenarnya resep normal dalam teori ilmu pendidikan. Kurikulum yang baik dan mutakhir diperlukan demi memperbaiki dan mengikuti perkembangan jaman atas perkembangan kebutuhan human capital. Namun, kurikulum membutuhkan guru dan sumber daya yang mampu mendukung penerapan dengan benar. Kurikulum sama seperti tumpukan kertas sampah jika tidak digunakan dengan benar. Hal yang paling penting adalah kualitas guru. 

Bahkan tanpa kurikulum yang ribet, waktu sekolah yang sebentar , Finlandia bisa menjadi sistem sekolah dengan nilai skor yang baik pada tes PISA (Dulu sempat juara tapi belakangan ini kalah dari Singapura, Shanghai, Hongkong dan Korea selatan). Dari banyak penelitian maka diberikan kesimpulan kunci kesuksesan Finlandia adalah melakukan seleksi ketat baik kemampuan dan passion dari guru, setelah itu autonomi atas apa dan bagaimana mereka mengajar di kelas. Guru tidak dibutuhkan untuk buat banyak laporan dan mengikuti berbagai kurikulum mutakhir dan diatur secara lengkap caranya mengajar murid di kelas. Karena mereka telah dipilih untuk mendidik dan dipercayai penuh akan kemampuannya oleh negara.

Hal yang kita pastikan tidak bisa dilakukan di Indonesia. Bukan karena gajinya kurang atau sebagai guru tidak mentereng. Hasil penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa program studi guru adalah program dengan minat terbanyak. Ini menunjukkan banyak anak muda percaya bahwa menjadi guru itu menjanjikan dan atau baik. Tapi yang gagal adalah seleksinya untuk memilih yang terbaik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk diangkat menjadi  guru dan mendapat kenaikan pangkat guru adalah sumber terbesar pemasukan dari kepala daerah. Seorang auditor senior di Kemendikbud pernah cerita bahwa untuk mempersiapkan dana bagi dirinya untuk ikut pilkada Gubernur, seorang Bupati mengganti seluruh kepala sekolah di kabupatennya dengan sistem lelang (informal)siapa yang mampu memberi setoran tertinggi (Dan beliau menang dan jadi Gubernur). 

Kita bisa melihat baru-baru ini dari tertangkapnya Bupati Tegal, harga jual tertinggi untuk jabatan adalah Kepala Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah. Selain itu dari perbincangan dengan beberapa orang teman istri yang lulusan sekolah keguruan, sebagian besar dari mereka tenaga honorer guru di Kabupaten Bandung setelah diangkat jadi PNS oleh pemerintah pusat malah bukan ditempatkan sebagai guru di sekolah mereka mengajar tapi dibuang ke instansi yang urus air, Dinas Perhubungan dan bahkan jadi administrasi di kelurahan. Beberapa dari mereka malahan telah lulus S2 keguruan. Beberapa jurnal di bidang pendidikan (yang nulis bule) juga menunjukkan hasil penelitian bahwa jika ingin menjadi guru maka harus ada setoran atau walau masuk dari formasi guru bisa ditransfer ke instansi lain. Biaya politik mahal di Indonesia bisa dibilang akan menghalangi negara untuk memilih guru hanya dari kemampuan dan passion. Hal yang menyebabkan walau ganti kurikulum, pelatihan, dan tunjangan hanya akan menambah cara kepala daerah untuk dapat dana setoran dari institusi pendidikan.

Ujian Nasional sebenarnya bisa dibilang sebuah tool yang bagus. Tool yang bisa digunakan untuk menilai kinerja dari sekolah dan kelayakan murid untuk melanjutkan pendidikan. Namun, tentu saja sebuah institusi korup tidak akan bersedia dan mau di tes atas keandalan institusinya. Dan para orang tua yang tentu saja tidak mau anaknya menjadi aib, dicap anak bodoh karena memiliki nilai rendah. Maka dengan alasan fasilitas yang tidak memadai, tidak sama kualitas dan alasan lain yang membuat tool ini akhirnya tidak berguna dikeluarkan. Suatu hal yang unik dan aneh sebenarnya bahwa ujian yang habis dikritik oleh orang tua bukan institusi yang gagal mencapai target kinerja mereka.

Ujian nasional yang secara potensi bagus dalam perjalanannya malah menjadi alat yang baik untuk mengajarkan cara untuk korupsi. Anak-anak diajarkan untuk mengkorupsi nilai mereka. Menggelembungkan nilai di atas kemampuan sebenarnya. Mereka di perbolehkan untuk saling nyontek pada saat ujian. Yang pintar diwajibkan membantu temannya yang kurang pintar. Para aktor di bidang pendidikan saling berkolusi bagaimana agar seluruh anak murid mereka bisa dan pasti lulus dengan nilai terbaik. Dan selama semester akhir, mereka diajari untuk melakukan kecurangan, yaitu belajar dari soal soal dan mendapatkan instruksi atas teknik mengakali agar mendapatkan nilai baik dalam ujian walau tidak paham ilmunya. Jadi jangan heran jika masa depan Indonesia banyak di antara anak muda Indonesia akan makin gampang dan pintar untuk korupsi, karena ketika sekolah mereka telah diajarkan untuk korupsi dan kreatifitas untuk berbuat curang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline