Saya kehilangan kesadaran sepersekian detik saat sedang menyetir di jalan bebas hambatan. Mobil melaju dengan kecepatan di bawah 80 km per jam. Masih aman. Tapi fokus saya buyar. Rasa sakit tiba-tiba menyerang. Saya nyaris kehilangan kontrol saat menyetir. Begitu rasa sakit bisa diatasi, saya dengan cepat memegang kendali mobil. Membiarkan rasa sakit mengalir deras ke semua arah, membuat mata panas dan berair. Saya sering menyetir dengan satu mata karena mata yang lain terlalu sakit untuk dibuka.
Di hari lain, saya menyetir ke kantor dengan rasa sakit yang awalnya ringan. Saya yakin bisa mengatasinya. Di tengah perjalanan, rasa sakit bertambah parah. Saat itu sangat ramai, semua kendaraan ingin berada di depan. Saya beberapa kali menekan pedal rem secara mendadak. Mobil-mobil menyalip dengan tidak sabar. Saya berjuang keras menahan sakit. Jika kalah oleh rasa sakit, saya mungkin menabrakkan mobil ke segala arah.
Rasa sakit menyerang saat berbicara ketika memimpin rapat di kantor. Bagaimana saya bisa melanjutkan rapat? Saya menahan rasa sakit. Saya memalingkan muka dari depan forum. Saya harus menutup mata untuk menahan rasa sakit.
Banyak contoh lain bagaimana saya menghadapi serangan trigeminal neuralgia (TN). Sebagian saya tuangkan dalam bab-bab di buku ini. Beberapa cerita saya beri tambahan agar terkesan dramatis, tapi tidak mengubah sedikit pun rasa sakit sebagai sebuah pengalaman terburuk yang tidak diinginkan siapa pun. Rasa sakit adalah fakta, kenyataan yang harus dihadapi. Rasa sakit memiliki tujuan.
Dari pengalaman ini saya bisa katakan rasa sakit menyentuh semua sisi kehidupan penderita trigeminal neuralgia. Ironisnya, penderita trigeminal neuralgia tampak sehat, bahkan bugar. Badannya tidak kurus, tidak pucat, tidak pincang, tidak sesak, dan tidak memiliki pantangan makanan. Beberapa penderita trigeminal terlihat sangat bugar dan berpostur atletis.
Saya menulis kisah hidup dengan trigeminal neuralgia karena terdorong beberapa hal. Saya belum pernah menemukan buku berisi kisah panjang penderita trigeminal neuralgia. Selain itu, saya merasa perlu membagikan kisah saya. Banyak orang yang tidak tahu ketika dia menderita trigeminal neuralgia, bahkan mungkin dia merasa ini adalah penyakit kutukan. Masyarakat umum perlu memahami trigeminal neuralgia, dan bagaimana bersosialisasi dengan penderitanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H