Secara umum, perempuan lebih tahan terhadap kelaparan, penyakit, dan kelelahan. Begitu tulis Yuval Harari di bukunya, Sapiens. Frasa ini membuat saya langsung ingat teman saya yang saat ini sedang berjuang meraih mimpinya. Dia tangguh. Namanya Putri Handayani, seorang pendaki dan konsultan perusahaan perminyakan.
Ketika saya menulis ini, tanggal 10 Juni, Putri sedang berjuang menaklukkan Denali dengan ketinggian 6.190 mdpl. Terakhir kontak, dia berada di camp 4 menuju camp 5, camp terakhir sebelum attack the summits. Tapi sudah dua hari saya dan beberapa teman kehilangan kontak dari Putri. Oya, Denali ini gunung tertinggi di Amerika Utara, salah satu dari 7 summit di dunia. Silahkan di-Google untuk mencari informasi tentang Denali.
"Aku ingin mencoba mendaki Denali lagi, Bang," begitu kata Putri dalam obrolan kami di sela-sela mengerjakan sebuah proyek, tahun lalu. Dia pun bercerita kegagalannya mendaki Denali tahun 2017. Dia harus turn around di hari ke-9 akibat serangan badai salju. Dalam kondisi normal dan lancar, puncak Denali bisa dicapai dalam 15 hari, atau 20 hari jika dihitung dengan segala persiapan.
Putri mendaki sendirian. Solo. Dia hanya ditemani guide. Meski ini bulan terbaik untuk mendaki Denali, tapi cuaca tak selalu bersahabat. Saya mendapat kabar di camp 1 cuaca buruk dan dia harus menunggu. Dua hari kemudian saya dapat baik. Putri sudah berada di camp 3 dan siap melanjutkan ke camp 4. Kabar terbaru, di hari ke-13, Putri masih tertahan di camp 4 menunggu cuaca membaik.
Pendakian Denali bagian dari proyek menaklukkan "7 summits" yang sudah dicanangkan Putri sejak 2016. Dia sudah menaklukkan Kilimanjaro, Cartensz, Elbrus, Aconcagua.
Putri contoh proses pencapaian sebuah mimpi anak Indonesia. Kebetulan dia seorang perempuan sehingga banyak media menyorotinya dari sisi gender. Memang benar, jika berhasil mencapai puncak, dia akan menjadi perempuan Indonesia pertama yang berhasil menaklukkan Denali secara solo.
Saya sendiri tak terlalu suka membawa-bawa istilah gender. Gender itu masalah rumit dan serius. Gender bersifat budaya dan sosial yang ketika dibahas terlalu dalam akan menghilangkan makna pada pencapaian manusia. Kita sering kehilangan fokus untuk memecahkan masalah sebenarnya ketika bicara perempuan atau laki-laki, maskulin atau feminin.
Memang budaya gender ini sudah sangat kental di kehidupan. Asal sepakat untuk satu hal bahwa ini bukan soal otot, atau kuat-kuatan.
Di berbagai tempat dan masyarakat, banyak perempuan yang bisa berlari lebih cepat dan mengangkat beban lebih berat daripada laki-laki. Lebih banyak perempuan yang bekerja di bidang yang membutuhkan otot, misalnya pabrik. Lebih sedikit perempuan yang bekerja di bidang yang kurang membutuhkan tenaga, misalnya menjadi politisi.
Go for it, Putri.