Lihat ke Halaman Asli

Namanya Awang

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Namanya Awang. Umurnya sekitar delapan atau sembilan tahun waktu saya mengenalnya di tahun 2003. Ia adalah satu dari sekian banyak anak yang didampingi dalam program pengentasan buruh anak di sektor alas kaki di wilayah Cibaduyut, Bandung.

Tak banyak yang saya ingat tentang anak itu, selain bahwa ia selalu bertelanjang kaki. Ia memang cuma seorang anak laki-laki berperawakan kecil, dan terkesan pendiam. Sesekali saya mendapatinya menggandeng adiknya yang masih balita di tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam dot berisi teh milik sang adik.

Sosok Awang yang sederhana hadir dalam ingatan saya seperti warna pucat yang terulas di atas dinding yang buram. Samar tapi menyiratkan perbedaan jika kita merenunginya cukup lama. Seorang anak yang tak memiliki sepasang sepatu yang layak, meski ia adalah salah satu pekerja industri alas kaki. Ironi yang cukup menyesakkan dada. Tapi belakangan saya menyadari bahwa kisahnya bukan hanya sebuah ironi, tapi juga tragedi.

Berdua dengan adiknya, Awang sering mengunjungi Sanggar Kreativitas Anak, sebuah ruang bermain dan belajar yang disediakan untuk memenuhi hak-hak anak yang terlanggar karena mereka terlibat – atau dilibatkan – dalam produksi alas kaki. Seperti ratusan anak lain di sekitarnya, Awang terancam kehilangan keceriaan masa kanak-kanak karena harus menanggung risiko fisik dan intelektual sebagai akibat mengerjakan banyak tugas yang sama dengan yang dikerjakan pekerja dewasa di industri alas kaki, khususnya mengelem, menggunting, memaku, menyemprot cat, dan menggerus.

Di Sanggar, pekerja anak di Cibaduyut bisa menjelajahi dunia di luar bengkel, toko sepatu dan gang-gang tempat tinggal mereka. Mereka bisa mengenal tokoh dongeng atau memainkan aneka permainan yang menyenangkan dan merangsang kreativitas. Di atas semua itu, di Sanggar mereka belajar menjalani hidup sebagai diri mereka sendiri; sebagai anak-anak.

Saya sangat terkesan ketika teman-teman pengelola Sanggar bercerita bahwa Awang menjadi nominator pemenang lomba menulis surat yang diadakan dalam rangka peringatan hari anak. Dengan antusias saya meminta kesempatan untuk ikut memberikan penilaian. Dan, dengan mudah saya mengenali surat Awang di antara tumpukan surat anak-anak lain karena kesederhanaan yang menjadi ciri penulisnya; samar namun berbeda.

Surat Awang ditulis dengan pinsil. Jika anak lain menulis di atas kertas surat yang wangi atau setidaknya di atas selembar kertas HVS, Awang menuliskan pesannya pada selembar kertas tipis yang dirobek dari sebuah buku tulis. Saya masih mengingat petikan suratnya:

ma jangan bertengkar sama bapak. kasian adik. awang sama adik ke sanggar main. bawa susu buat minum adik. adik suka nangis. awang ingin pinter supaya kita senang. ma jaga adik. jangan lupa kasih adik susu. kalo ngga ada susu teh manis juga tidak apa-apa. jangan bertengkar sama bapak.

Meski tanda baca, tata bahasa, bahkan tulisan tangan Awang sendiri bisa dibilang buruk, tapi pesan yang ingin disampaikannya sangat jelas. Karena itu panitia akhirnya menetapkannya sebagai juara ketiga. Surat yang menjadi pemenang pertama lomba itu kemudian diterbitkan di Pe-eR Kecil, suplemen harian Pikiran Rakyat untuk anak-anak. Sementara Awang cuma memperoleh piala, seperangkat alat tulis dan sejumlah kecil uang, kalau tidak salah sekitar seratus ribu rupiah. Hadiah itu diterima Awang dengan senang. Bibirnya tersenyum lebar meski seperti biasanya, hari itu ia hadir tanpa alas kaki.

Beberapa minggu berselang, sebuah kabar mengejutkan mengantarkan saya ke bangsal rumah sakit di wilayah Kopo. Awang tertabrak truk ketika naik sepeda kumbang. Supir truk mengaku lalai dan menyesal, namun menyatakan ia tak dapat menghindari kecelakaan itu karena sepeda Awang oleng dan jatuh di depan truknya. Saya tak dapat menahan air mata membayangkan kesulitan Awang mengendarai sepeda kumbang yang sudah pasti terlalu besar untuk badannya yang kecil.

Di antara para penjenguk beredar cerita bahwa setelah menerima hadiah, Awang berlari pulang dan mempersembahkan hadiah yang baru diterimanya kepada sang ibu. Uang seratus ribu digunakan untuk membayar kontrakan dan hutang lainnya. Tak tergambarkan apa yang ada di benak kami, saya dan teman-teman pengelola Sanggar, yang hadir saat itu. Dengan caranya sendiri, si kecil yang pendiam itu mencoba menjadi pahlawan untuk keluarganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline