Ketika kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi dulu, saya tidak pernah membayangkan suatu saat saya akan menyampaikan materi komunikasi di hadapan sekelompok masyarakat termarjinalkan. Yang saya maksud adalah kelompok perempuan pekerja seks (PPS), pengguna narkoba, waria, dan gay. Karena tidak pernah terbayang, saat pertama pengalaman tersebut menjadi begitu menantang, hingga meninggalkan kesan mendalam. Lebih dari itu, pengalaman tersebut memberikan pelajaran yang tak ternilai harganya tentang esensi komunikasi yang sebelumnya mungkin pernah saya temui di berbagai textbook, namun tidak terinternalisasi karena berupa teori yang, bagi mahasiswi tak berpengalaman seperti saya, sulit untuk dipahami.
Saya masih ingat bagaimana saya merancang suatu sesi komunikasi untuk PSK. Di dalamnya, saya menyisipkan permainan untuk membangun suasana, di mana peserta harus bergerak mengikuti irama lagu. Untuk itu saya menyiapkan beberapa CD lagu dangdut. Cara ini sering saya lakukan dan biasanya cukup berhasil menimbulkan kemeriahan dan merangsang partisipasi peserta. Ketika saya menerangkan aturan mainnya kepada PPS peserta, mereka pun tampak cukup antusias.
Namun begitu lagu diputar, saya mendapati para PPS berdiri diam sambil saling bertukar pandang. Sia-sia saja saya berseru, bernyanyi dan menari. Hingga lewat bagian reffrain, tak ada satu peserta pun yang ikut bergerak bersama saya.
Rikuh karena serasa ‘heboh’ sendiri, saya menghentikan musik dan menawarkan untuk mengganti musik. Kali ini saya menawarkan lagu jenis campur sari, dengan pertimbangan mereka pasti lebih familier dengan bahasa dan iramanya. Tapi tawaran tersebut kembali disambut dengan bahasa tubuh yang sama; diam, saling pandang, saling lirik, dan senyum yang terkesan dipaksakan. Celakanya, saya tidak berhasil menterjemahkan bahasa tubuh mereka itu.
Saya memutuskan untuk meninggalkan aktivitas itu, dan meneruskan penyampaian materi. Namun hingga waktu berakhir, saya merasa bagaikan membacakan sebuah informasi dari buku saja. Sesi fasilitasi itu jauh lebih buruk dari kuliah umum. Tidak ada dialog, tidak ada feedback. Saya menutup sesi tersebut dengan permintaan maaf. Saya tahu saya telah gagal.
Di kesempatan lain, saya mesti menyampaikan materi komunikasi kepada kelompok gay dan waria. Belajar dari pengalaman yang lalu, saya lebih hati-hati mempersiapkan materi dan kegiatan. Saya memerinci skenario sesi dan mendiskusikannya dengan co-fasilitator. Wajah-wajah ceria para peserta semakin meningkatkan kepercayaan diri saya. Sesi itu berjalan cukup lancar, bahkan beberapa peserta aktif mengajukan dan menjawab pertanyaan.
Tapi di hari berikutnya saya melihat beberapa peserta absen. Hal ini mendorong saya untuk mempelajari lembar evaluasi. Peserta yang absen itu ternyata memberikan tanda wajah cemberut pada kolom fasilitator. Itu artinya, mereka tidak suka pada saya, atau paling tidak pada cara saya menyampaikan materi di hari sebelumnya. Waduh..!
Pada sebuah acara sharing dengan teman-teman (mantan) pengguna narkoba yang berstatus HIV positif, ada pelajaran lain yang saya petik. Sebelum bertandang ke rumah rehabilitasi tersebut, kami sudah mempelajari profil lembaga, pengurus, dan program-programnya. Saya berasumsi bahwa dengan latar belakang pendidikan, pengalaman dan pembekalan yang telah diberikan kepada kami; petugas lapangan, pendamping, dan konselor, sharing ini akan berlangsung dengan lancar, hangat, dan bernuansa persahabatan.
Setelah menjelaskan maksud kunjungan, rombongan kami berkeliling melihat failitas yang ada, dipandu oleh tuan rumah. Tak lama kemudian saya mendapati beberapa anggota rombongan berbisik-bisik di hadapan kamar di mana seorang remaja tampak tidur berselimut. Dengan sudut mata, saya menangkap adanya ‘pertukaran sinyal’ di antara teman-teman yang berstatus tuan rumah. Saya merasa ada sesuatu yang salah.
Sebelum sharing dimulai, kami duduk melingkar di halaman belakang, dan memulai perkenalan. “Gue Fulan. Gue pecandu.” Seorang remaja penghuni rumah rehabilitasi tersebut memulai. Sejenak saya mempertimbangkan bagaimana saya akan memperkenalkan diri nanti. Apakah dengan kata ganti saya, aku, gue, atau apa? Lalu, siapakah diri saya yang akan saya perkenalkan? Diam-diam saya mengamati. Teman-teman lain tampaknya sedang memikirkan hal yang sama.
Saya tidak terkejut ketika beberapa orang yang biasa menggunakan kata ganti ‘saya’, saat itu memperkenalkan diri dengan ‘gue’. Tapi yang mengejutkan adalah dialog yang terjadi ketika sharing dimulai. Ada pertanyaan-pertanyaan seperti “Kenapa kamu bisa kena AIDS? (perlu diketahui, status HIV positif tidak sama dengan AIDS);
“Kaget nggak waktu tau kamu kena HIV? Orang tua kamu tau? Gimana reaksi orang tua kamu?”