Pada suatu hari di pedalaman hutan yang rimbun dengan jalan setapak yang bergejolak dipenuhi bebatuan, lobang dan dedaunan kering yang gugur dari pohon. Di ujung jalan setapak itu terdapat rumah yang memiliki pekarangan luas dan bunga-bungan indah yang menghiasi.
Rumah itu dihuni oleh Putri Raflesia dan seorang panglima yang gagah dan berani bernama Tetras. Panglima Tetras diutus oleh ayahanda Putri Raflesia untuk menemani dan membantu Putri Raflesia tinggal di rumah itu. Setiap pagi panglima Tetras selalu mencari makan dengan berburu hewan dan mememtik buah-buahan yang dapat dimakan.
Pada malam hari yang dingin Putri Raflesia duduk sendirian di ruang makan setelah menghabiskan buah yang disiapkan oleh panglima Tetras. Putri Raflesia pun memanggil panglima Tetras untuk menemuinya. "Panglima... " (Panggil putri raflesia dengan suara yang tegas dan kencang hingga terdengar keluar rumah)
Panglima Tetras yang saat itu sedang berlatih pedang langsung merapihkan pedangnya dan berlari menghadap sang tuan putri. "Hamba menghadap anda tuanku Putri, apakah ada yang dapat saya lakukan untuk tuanku Putri?"
Putri Raflesia bangkit dari tempat duduknya, lalu mendekat kepada panglima. Perlahan sang Putri mengusap lembut rambut pangling Tetras dan seraya berkata "Panglima Tertas yang gagah dan berani, mata-matailah istana untuk mencari kabar terbaru yang terjadi di sana. Aku sudah lama tidak mendengar kabar apapun dari istana"
"Maafkan saya tuanku Putri, tidak bermaksud menolak perintahmu. Namun, Raja meminta saja untuk selalu di samping tuanku Putri. Jika saya pergi untuk memata-matai istana sama saja saya sudah mengingkari perintah raja dan berkhianat pada istana" Jawab Panglima Tetras atas permintaan dari Putri Raflesia.
Raut wajah putri Raflesia lantas berubah menjadi amarah dan usapan lembut itu berubah menjadi cengkeraman yang kuat di kepada sang Panglima "Kau menolak perintaku? Panglima Tetras. Saat ini kau ada di bawah perintaku, jadi kau harus selalu menuruti keinginanku. Masalah penghianatan itu tidak akan pernah terjadi karena istanalah yang terlebih dahulu menghianatiku" Jawab Putri Raflesia dengan suara yang mulai meninggi.
Panglima Tertas lantas menyingkirkan tangan putri Rafles yang mencengkram kepalanya secara perlahan agar tidak diartikan sebagai perlawanan. Ia pun berkata "Maafkan saya tuanku Putri, tetapi ayahanda saya selalu berkata bahwa sebagai panglima harus selalu menepati janjinya. Dan janji saya kepada sang Raja adalah selalu berada di samping tuanku Putri Raflesia" Tegasnya dan langsung meninggalkan putri Raflesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H