Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Negeri di Atas Awan

Diperbarui: 10 Desember 2016   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lingkudau Housing Lost, 14-02-2016

Tidak terasa sudah dua musim kulewatkan sejak aku memutuskan diri untuk merantau ke Sabah Malaysia karena rasa cinta, cinta yang tanpa malu-malu kuakui-tak terbendung-pada ribuan laksa anak negeri yang terpencar disini.

Sering kulamunkan, bagaimana aku yang menjalani petualanganku yang tidak pernah bosan setelah menyelesaikan pendidikan sarjanaku enam tahun silam. Berulangkali aku telah jatuh cinta dalam pengembaraanku, yang semuanya menghawatirkan ibuku karena menempatkan diri di kubangan yang sulit dijangkau oleh keinginan orang lain. Namun, Kawan, seandainya kita bisa tahu dengan siapa kita akan berjumpa lalu jatuh cinta seperti tak ada lagi hari esok, maka beruk bisa melamar pekerjaan menjadi ajudan bupati.

Dalam pada itu, hari ini, kudapati diriku masih duduk disini, sebagai pelancong utusan negeri karena cinta yang terpelencat tak beraturan. Kulihat masa depanku terbentang beriak-riak bak arus Sungai Kapuas sejauh mata memandang melalui puncak bukit ini, sebuah negeri di atas awan. Dibalik batas mata memandang itu adalah Sumatera, dan di sana masa hidupku untuk memperoleh tumpukan cinta yang aku rasakan sekarang. Dan disinilah aku, di negeri di atas awan ini, kadang-kadang terjerembab, kadang tersentak, adakalanya pula aku terpantul-pantul bak naik kuda balapan, aku mencengkeram kuat di boncengan sepeda motor seorang teman yang memiliki sedikit sakit gila sepertiku. Kata Ayahku: Sakit gila cinta negeri, dengan mimpi mengarungi semesta.

Namanya Arum Eka Septyana, sangat tak suka kalau namanya dipanggil Harun. Mirip Taikong Hanim. Ia berkulit sawo, kurus tidak terlalu tinggi, dan wajahnya jenaka tipikal jawa. Bulu matanya lentik, lehernya panjang. Gaya berjalannya seperti orang ingin menari. Rupanya, ia memang seorang penari, penari goyang kepala yang piawai. Jika menari kepala, lehernya seperti engsel peluru: naik, turun, maju, mundur, patah-patah, menjulur-julur, dan berputar meliuk-liuk. Kawan, goyang kepala itu bukan perkara sederhana, tapi semacam culturalgesture. Jika dia menggoyangkan kepalanya terus-menerus, artinya dia menghormati kawan bicaranya. Jika bergoyang tiga kali maksudnya: Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Empat kali: Baiklah, akan kupertimbangkan. Lima kali mematuk-matuk cepat : Aku mau ke toilet.

Sebenarnya posturnya kecil saja, sedikit lebih tinggi dari aku, namun siapa menyangka Kawan, dia mampu membawa kami mendaki tanjakan yang tak memberi ampun, melalui berbagai bentuk kelokan tajam dan lorong kabut yang kami sebut terowongan musiman itu.

Tepat diujung siang, motor yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti seperti kehabisan nafas di tanjakan tak berperasaan. Kami melintasi Kimanis yang dari ujung ke ujung adalah bagaikan ular sawah yang berkelok-kelok mendaki Simeru. Akupun turun berusaha menjejakkan kakiku, berjalan zigzag seperti ayam keracunan kepiting batu. Rupanya karena terlalu lama duduk di sadel motor, kelokan jalan yang tak kepalang tanggung, dan nuansa balapan kuda, telah membentuk kolaborasi memacam trias politika, membuat seluruh oragan-organku mabuk berputar-putar.

Kau bayangkan Kawan, dua orang pengidap sakit gila berkendara merayapi kota Keningau-Kota Kinabalu yang tak kurang dari 240 Km dihitung pergi dan pulangnya. Melewati jalanan yang meliuk-liuk menanjak, yang dipagari tumpukan batu bulat berkawat. Aku bergetar menyaksikan nun jauh dibawah sana, pintalan-pintalan awan bergulung mesra dan seksi dengan bilasan cahaya matahari sore. Aku terpana dilanda de’ja  vumelihat hamparan lembah yang menawan. Aku merasa kenal dengan gerbang bukit yang memeluk matahari itu, dengan pohon-pohon willow di sepanjang tebing, dengan bangku-bangku batu itu. Aku seakan menembus lorong waktu yang telah lama hidup dalam kalbuku, Desa Nagasaribu, Bukit Batu Harang yang pernah menjadi tujuan wisata masa sekolah rendahku.

Aku bergegas meminta Arum berhenti dan menghambur turun. Ribuan fragmen ingatan akan keindahan tempat ini selama belasan tahun, tiba-tiba tersintesa persis di depan mataku, indah tak terperi. Sebuah negeri di atas awan, indah bukan buatan.

Matahari adalah tukang tenung. Jika bangun subuh, selempang merah membujur di langit timur menjelmakan puncak-puncak bukit sepanjang jalan Kimanis menjadi sayap-sayap burung starling yang mengibas sisa es di bibir talang, di rongga-rongga pancuran dan topi-topi cerobong asap. Rombongan tikus kelabu, tupai dan rakun terrsembul-sembul mengintip lalu melompat dicelah-celah akar pohon Kuini. Semuanya seolah berdendang riang, ribut berjingkat-jingkat, menambah intrik dekorasi seni tingkat tinggi.

Aku masih seekor pungguk buta yang memimpikan rembulan, namun sebenderang rembulan dini hari, mimpi-mimpi itu masih bercahaya dalam dadaku. Mimpi itu juga yang membuatku bertahan dan melompat-lompat dalam pengembaraanku.Negeri di atas awan, adalah satu dari sekian banyak nikmatku berkelana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline