Lihat ke Halaman Asli

Garuda Bukan di Dadaku

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

129369761043755794

[1] “burung ini tuan garuda!” demikian kata hamba sebangsa sambil membusungkan gelora dengan bangga dan bahagia berbekal tiket lengket yang dibeli dari petugas loket, berbondonglah mereka untuk sekadar dua bentar menyemai sorak sorai sampai mendulang sekeranjang kisruh kiranya alangkah megah permadani stadion ketika kubaca label kursi khusus penonton: mahal setara dengan harga separuh nyawa, sejuta euforia padahal, kutahu letaknya tak jauh-jauh amat dari dusun paru-paru dan dua bukit gundul kutonton lewat layar tancap saja, ah.. [2] seiring riuh gemuruh, ratusan ribu telapak tangan terkepal teguh setinggi perdu diikat dengan semangat persatuan sementara tuan garuda sungguh sedang berjibaku dengan cakar-cakar pada kakinya yang tajam sekali itu, dicabiknya musuh hingga terjatuh, lumpuh lalu mengaduh dengan bulu-bulu emas pada ekornya yang mengembang sekali itu, dikibaskannya skor gemilang lima-satu tak kepalang burung ini tuan garuda yang jantan dan perkasa erangannya berdengung-dengung memasung lengking kemenangan yang tersangkut di tenggorokan [3] belum lama nyenyak di kasur kapuk empuk, tuan garuda sudah bermimpi dalam tidurnya ia mimpi jadi bintang iklan pulsa, bintang opera, dan akhirnya jadi pelawak botak yang rela dihina-hina bangun pada laga final, atraksinya makin binal dipahatlah keangkuhan di atas perisai dengan paruh seruncing pisau sebelum nanti menggagahi harimau yang bangkit dari sakit lihat, leher cacat itu kini menggeliat betapa hebat usai dipijat-pijat uratnya oleh wartawan dan artis seksi sehingga tuan garuda tak lagi berpaling ke kanan, sebab pijakan lawan jelas kelihatan selalu di depan di kandang yang bau, hamba sebangsa mengelu-elu lalu pulang satu-satu dengan wajah merah trenyuh uh, tak dinyana tuan garuda telak tenggelam ke nganga kenyataan yang dalam: takluk [4] tuan garuda kini sedang menyeduh segelas peluh tanpa perlu berbagi sedikit saja denganku mata luyutnya yang bagai preman mabuk itu seakan mau berseru, “lepaskan dulu aku!” masih pagi buta, kusaksikan burung yang sama sedang bertengger di tingkap dahan, sendirian barangkali tuan garuda nekat hendak melancong, kuberpikir begitu saat melihat gelora yang kosong serta merta kudengar pada waktu yang sama kepak sayap burung menerjang angan dan angin yang mantap merintangi lelah ke tempat di mana nyonya bintang berada.. “burung itu tuan garuda!” demikian kata gelora bung dada sambil menerawang angkasa dengan sesobek ketulusan doa Cianjur, 2010 :: Dokumentasi Puisi Kartini Fuji Astuti




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline