Lihat ke Halaman Asli

Kepada Ibu

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kepada Ibu, yang menyayangiku dengan sisa-sisa nafas pedih.. Aku tahu kau menyayangiku. Lautan lumpur kau arungi. Menentang menerjang badai ombak lalu menepi. Kau tiupkan sepotong permata pada tubuh terdampar penuh lumpur ini. Sepotong permata yang tiada lain adalah senyummu. Ah, senyummu bahkan tidak hanya sepotong. Aku tahu kau menyayangiku. Ditimang-timang diriku dalam pangkuanmu. Di tubuh terdampar penuh lumpur ini kau nafaskan serangkai nama 'Kartini Fuji Astuti’ dengan harum yang pasti. Kemana perginya telingamu? Tidakkah kau dengar nama keren seperti Avril Lavigne, Meriam Bellina atau Alyssa Soebandono? Kau bilang inilah nama paling bagus. Mungkin kau menganggap aku adalah pahlawan di bulan April, ya? Aku menangis tapi kau malah tersenyum. Telunjukmu kau tempelkan dibibirku lalu kau memberi susu. Aku tahu kau menyayangiku. Bahkan ketika aku membuang ampas perut, kau tak sekalipun menampar udara. Kau tak ingin tahu ada bau menggelitik hidungmu. Kau hanya tahu harus mengganti popok. Kau panik. Suhu tubuhku tiba-tiba naik. Kau bawa aku ke Puskesmas. Di ruang tunggu, kau menduga-duga, “Apakah susuku kadaluarsa?” Dari tengkurap, merangkak, berdiri, berjalan, berguling, sampai menggelinding, aku masih tahu tentang betapa sayangnya kau terhadapku. Ingin aku pandai bicara, kau cambuki mulutmu hingga berdarah-darah. Berulang kali menyebut, “Ini Guguk. Coba, Nak! Ini Gu—guk.” Dan aku mengikutinya, “Gugugu.” Aku benci menyebut ini Guguk karena sesungguhnya ini hanyalah aku, yang tahu kalau kau menyayangiku. Ingin aku pandai menulis, kau latih tanganku dengan tidak kenal letih. Aksara ini kubentuk meliuk-liuk mirip cendol. Tanganku sudah menggeliat pegal. Kau suruh jari-jarinya tidur sebentar. Jari-jari tanganku pun tahu.. kau menyayangiku. Ingin aku pandai membaca, di mataku kau bentuk satu tegak alif, dua kait lam dan sebulat ha. Adalah lapadz, katamu. Biar setiap aku membacanya, aku bisa menatap الله jauh lebih dekat. Pasti karena kau menyayangiku. Ingin aku pandai berhitung, kau berikan aku uang jajan. Kusimak baik-baik nominalnya. Seratus ribu dikali sepuluh sama dengan sejuta. Jangan khawatir. Hanya imajinasi. Tapi mungkin saja uang jajanku dalam belasan tahun jauh lebih banyak dari itu kalau kau menyayangiku. Ingin aku pandai menggambar, tembok rumah pun teraniaya. Kau relakan putih telanjangnya dinodai crayonku yang binal. Alhasil tembok rumah kita sudah tidak perawan lagi. Kau tak menyayangi tembok, ya? Aku tahu kau menyayangiku. Buktinya, kau belikan sepeda berwarna kuning ini. Cantik sekali. Aku kaget mendengar kring kring. Dia bunyi! Tapi kemudian bisu setelah kuhancurkan stangnya. Kau geleng-geleng kepala. Segera kau perbaiki lalu mulai mengajariku. Kau dorong jok belakang sepedaku dengan pelan mengelilingi kampung. Err, bagaimana aku bisa mengayuh? Aku merengek, “Ibuuu, tunggu!! Aku belum naik.” Kau menyayangiku laksana الله menyayangimu. Kau bungkus sekujur tubuh terdampar penuh lumpur ini dengan satu stel busana. Kau bilang, “Indahnya, Puteriku.” Biar kau tetap menyayangiku, aku menurut saja. Sesungguhnya aku gerah. Kenapa kain katun berenda ini membungkus kepalaku juga? Pulang main hari minggu, kubantingkan diriku ke sofa. Dengan mata setengah terpejam, kulihat seragam putih merahku di antara tumpukan jemuran yang kau bawa. Oh, kau menyayangi si aku beserta pakaiannya? Kupejamkan mata rapat-rapat saat kau temukan asap mengepul pada setrika. Setrikamu rusak. Bukan aku pelakunya, Bu. Kau menyayangiku. Iya, kan? Sebelum berangkat sekolah kau sediakan sarapan untukku meski hanya bubur, sepotong roti tanpa selai kacang, segelas susu, teh Sariwangi atau air putih saja barangkali. Kau membuatkan aku sarapan. Tidak pernah tidak. Aku tahu kau menyayangiku. Mungkin karena ini kau kian cerewet, persis seperti aku dulu ketika masih belajar mengeja kata guguk. Aku telat makan saja kau cakar habis-habisan dengan seringai tak sedap. Tidakkah kau tahu, aku muak diomeli? Kau paksa tubuh terdampar penuh lumpur ini terlelap sebelum kau berbaring. Kalau boleh, aku tak mau tidur, Bu. Ada pekerjaan yang tak kuselesaikan siang tadi. Tidakkah kau tahu aku muak dipaksa? Dan tidakkah kau tahu aku ingin melihat malaikat kudus yang membasuhku lewat tengah malam nanti? Sudah, tak perlu ambil alih pekerjaan malamku ini. Aku tahu kok, kau menyayangiku. Ada hikmah : rupanya efek tidak tidur semalaman adalah ngantuk seharian. Kau tak bosan memerintah ini-itu layaknya ratu baru bertahta. Aku pura-pura tuli. Titahmu mencekikku lagi. Kubilang, “Ah, Sebentar!” Krik krik krik *sebentar kemudian* krik krik krik. Apa kau tak tahu kata sebentar ini dua puluh tahun bagiku? Jangkrik saja tahu. Tapi kau menunggu di atas tapal setia. Bukankah berarti kau menyayangiku? Dengan komandomu, aku pun bersembahyang. Kalau tidak, mungkin dua puluh tahun lagi aku baru ingat ada adzan yang tadi dikumandangkan di masjid sebelah rumah. Aku tega menjadikanmu alarm, ya? Padahal kau menyayangiku. Ketika aku bukan satu-satunya lagi untukmu, aku mulai resah, gelisah, hilang arah. Ingin sekali kutelan adik-adikku. Sungguh! Polah mereka seperti keratan daging saja. Kau selalu melerai di tengah ribut ini. Namun tak pernah membela satu pun. Tak ada jawaban untuk “Siapa yang lebih kau sayang?” Aku pernah dimurkai ayah dengan kursi. Kau terisak saat itu. Kau menyayangiku, aku tahu. Mati-matian dengan cerewet kau katakan kalau ini adalah salahmu. Pantas saja ayah berhenti memukulku. Aku tidak tega melihat kau bersujud meregang nyawa di kaki ayah. Ingin sekali kurangkul engkau yang meniupkan permata pada tubuh terdampar penuh lumpur ini. Nyatanya aku tak bisa. Aku hanya bungkam bersama merah-merah di punggung, bersama bunyi berdebam kursi yang melayang ke pojokan. Aku malu memperkenalkan kau pada mereka bahwa inilah ibuku. Bukan. Bukan karena kau tidak rupawan atau kau yang tak canggih main ef-bi. Melainkan, aku tak mau mereka tahu kalau ibuku cerewet. Tapi setelah kuperkenalkan, cerewetmu malah menyanjungku melampaui semesta. Kau tahu apa yang kau lakukan. Kau sungguh menyayangiku. Sebaliknya, kau banggakan aku kepada teman-temanmu. Aku juara inilah itulah. Kalau lewat, orang-orang sekampung mengataiku, “Eh ada anak pintar.” Tapi aku merasa tak dipanggil, Tuan-tuan! Aku bukan anak pintar. Untuk sebuah soal simpel—kenapa Ibu menyangiku—saja aku tak bisa menjawab. Ibuku sayang.. Ini adalah maumu aku sekolah. Padahal aku tak suka. Apalagi di sekelilingku pintar-pintar. Masuk ke sini sama saja menenggelamkan tubuh pada lautan lumpur lagi. Akan cemburu dengan orang-orang yang kesemuanya memakai kapal pesiar, perahu layar, perahu bercadik atau bahkan Titanic. Sementara aku tak memakai sebilah rakit pun. Aku pun tahu kau tak punya brankas duit. Selesai bayar iuran sekolahku, kau sembunyikan tagihan listrik yang nunggak dua bulan itu. Kau punya alasan untuk satu kalung hilang yang menggelayut di lehermu kemarin. Dimakan semut, katamu. Iya, Ibu! Rupanya aku tahu kau menyayangiku meski kau tak pernah bilang. Aku memang tak pantas disayangi. Tapi aku merasa butuh. Maaf bila aku tak bisa menyayangimu melebihi kau menyayangiku. Aku tak tahu dengan apakah aku bisa membalasnya. Aku tak tahu begini air susu atau begitu air tuba. Aku tak tahu kenapa tiba-tiba saja air mata ini berdesak-desakkan ingin keluar ketika refleksi wajahmu mengilat-ngilat dalam benakku. Benar-benar bodoh. Aku hanya tahu di balik permata mengilat yang bergumul di bibirmu.. kau menyayangiku. Aku tak tahu apakah huruf-huruf di sini bisa mewakili rasa terimakasihku atas nafas yang kau sisakan untukku, atas permata yang kau tiupkan pada tubuh terdampar penuh lumpur ini. Aku tak tahu apakah huruf-huruf di sini bisa menjelma menjadi angka. Lalu mengumpulkan diri untuk membayar asi, cat tembok warna putih, sepeda baru, setrika yang modern, iuran sekolah, kalung yang dimakan semut dan kasih sayangmu. Aku pun tak tahu harus mengulaskan judul apa pada serapah huruf-huruf terbengkalai ini. Surat Tak Tersampaikan, Kasih Sayang Seorang Ibu, Rintihan Permata Hati yang Terdampar Penuh Lumpur, atau Curahan Nyata si Penghancur Sepeda? Aku bingung. Payah sekali! Kau punya ide, tidak? Ya. Ayahku fotografer. Tapi kenapa tak kutemukan satupun foto yang menunjukkan kalau kau pernah menggendongku? Apakah dulu ada album yang tak sengaja kubakar? Atau kau simpan mereka di lemari? Dan sudah kubongkar isi lemari berjam-jam, Bu. Sayangnya tak kutemukan foto-foto kita. Eh salah, ini kan lemari es. Err. Ya sudah, nikmati saja foto yang ada. Lihat permata dan tubuh penuh lumpur ini! Kau sendiri akan tahu.. betapa kau menyayangiku dengan sisa-sisa nafasmu. ----------------tertulis : 7 Juli 2010 ketika kepalaku terbentur kapal pesiar-------------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline